sip

sip
ditengah

Minggu, 10 Oktober 2010

Campuran

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun Allah swt tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafadz yang sedikit saja, dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir al-Qur’an.

B. Pokok Bahasan
1) Pengertian Tafsir
2) Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
3) Sejarah Tafsir al-Qur’an
4) Corak Penafsiran al-Qur’an
5) Kodifikasi Tafsir
6) Bentuk Tafsir al-Qur’an
7) Metode Penafsiran al-Qur’an















Pembahasan

A. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa: Al Idhah (menjelaskan), At Tibyan (menerangkan), Al Idzhar (menampakkan), At Tafshil (merinci). Tafsir berasal dari kata Al Fusru yang mempunyai arti Al Ibanah wa Al Kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu).
Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Az Zarkasyi yakni memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.

B. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Menurut bahasa, ta’wil berasal dari al awal artinya kembali/kembali ke asal (al rujuu’), al Ma-al (tempat kembali), atau diartikan al iyaalah yang berarti mengatur.
Menurut ulama salaf, ta’wil adalah:
1. Menafsirkan suatu pembicaraan (teks) dan menerangkan maknanya tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
2. Substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri

Sedangkan menurut ulama kontemporer (khalaf) yakni: mengalihkan lafal dari pengertiannya yang kuat (rajah) kepada makna lain yang dikuatkan/dianggap kuat (marjuh) karena ada dalil lain yang mendukung.
Perbedaan tafsir dan ta’wil diantaranya:
1. Tafsir lebih umum dan ta’wil lebih khusus
2. Tafsir lebih berorientasi pada riwayat dan makna lahir ayat, sedangkan ta’wil lebih berorientasi pada makna tersirat (isyarat) dan pemahaman ayat.
3. Tafsir menjelaskan apa yang sudah jelas dalam al-Qur’an dan hadits, ta’wil menjelaskan makna yang tersembunyi
4. Tafsir lebih bersifat riwayat, dan ta’wil lebih bersifat dirayah

C. Sejarah Tafsir Al Qur’an
Sejarah ini diawali pada masa Rasulullah saw masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu para sahabat dapat langsung menanyakan kepada Rasulullah saw. Secara garis besar ada 3 sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an.
Al-Qur’an itu sendiri, karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
Rasulullah saw semasa masih hidup, para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau saw tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah saw terutama pada masalah asbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi, maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah saw.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an antara lain Khulafaurrasyidin, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari, Abdullah bin Zubair.
Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits. Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada 3 kota utama dalam pengajaran al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid Al Mujahid Ibn Jabir, Atha’ bin Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus Ibn Kisan Al Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay bin Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al Qurazhi, Abu Al Aliyah Al Riyahi, dan Zaid Ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud dengan murid-murid Al Hasan Al Bashri, Masruq Ibn Al Ajda, Qatadah Ibn Di’amah, Atah Bin Abi Muslim Al Khurasani dan Marah Al Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh ulama sesudahnya seperti Ibn Majjah, Ibn Jarir Ath Thabari, Abu Bakar Ibn Al Munzir An Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilha yang disebut Tafsir Bil Ma’tsur. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Abbasiyah menurut pengembangan mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al ma’tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdsasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai Tafsir Bi Ar Ra’yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawwuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai Tafsir Isyarah.

D. Corak Penafsiran Al Qur’an
Diantara berbagai corak penafsiran antara lain :
1) Corak sastra bahasa, timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an di bidang ini.
2) Corak filsafat dan teologi, berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal. Corak ini muncul akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
3) Corak penafsiran ilmiah, timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
4) Corak fiqih atau hukum, lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Timbul akibat berkembangnya ilmu dan madzhab-madzhab fiqih, yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam penafsiran ayat-ayat hukum.
5) Corak tasawwuf, akibat timbulnya gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
6) Corak sastra budaya kemasyarakatan, menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha untuk menanggulangi masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.

E. Kodifikasi Tafsir
Kodifikasi tafsir dapat dilihat dalam tiga periode, yakni :
1) Periode I, yaitu masa Rasul saw, sahabat, dan permulaan masa tabi’in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
2) Periode II, bermula dengan kodifikasi hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits-hadits, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadits walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bi al ma’tsur.
3) Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al Farra (w. 207 H) dengan kitabnya Ma’ani Al Qur’an.

F. Bentuk Tafsir Al Qur’an
Dilihat dari sumber pengambilan atau orientasi penafsirannya, tafsir dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yakni :
1) Tafsir bi Al Ma’tsur (Tafsir bi Ar Riwayah/Tafsir bi Al Manqul)
 Pengertian
Kata al Ma’tsur secara bahasa berarti menyebutkan atau mengutip dan memuliakan atau menghormati. Al Ma’tsur pada hakekatnya mengacu pada makna yang sama yaitu mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada dari orang lain atau masa lalu.
Secara istilah, Muhammad Ali Ash Shabuni merumuskan sebagai berikut, tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah atau pendapat sahabat dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah swt. Dengan demikian tafsir bi al Ma’tsur adakalanya ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah, dan menafsirkan al-Qur’an dengan apa yang dikutip dari pendapat sahabat.
 Kelebihan dan Kelemahan
Kelebihan tafsir bi al Ma’tsur diantaranya, merupakan tafsir yang paling berkualitas. Karena jika pada sebagian ayat al-Qur’an ada yang mujmal (global), maka pada bagian lain seringkali dijumpai ayat yang uraiannya relatif rinci. Namun apabila tidak dijumpai keterangan tentang ayat tersebut dalm al-Qur’an maka berpegang pasa sunnah. Dan apabila dalam keduanya (al-Qur’an dan sunnah) tak dijumpai, maka berpegang pada pendapat para sahabat.
Kelemahan tafsir bi al Ma’tsur diantaranya :
a) Mencampur adukkan antara riwayat yang shahih dan tidak shahih (dalam hal kualitas sanad ataupun matannya sebagaimana dalam ilmu hadits)
b) Sering dijumpai kisah-kisah Israiliyyat yang berbau khurafat, tahayyul dan bid’ah.
c) Sebagai pengikut madzhab tertentu sering mencatat nama-nama mufassir terkemuka tanpa adanya bukti yang benar.
d) Orang kafir zindiq yang memusuhi Islam seringkali menyisipkan kepercayaannya melalui sahabat dan tabi’in.
 Contoh Kitab dan pengarangnya
a) Jami’ul Bayan Fi Tafsir al-Qur’an (Tafsir Ath Thabari) karangan Muhammad bin Jarir Ath Thabari (w.310 H)
b) Bahrul ‘Ulum (Tafsir As Samarqandi) karangan Nashar bn Muhammad As Samarqandi (w.373 H)
c) Al Kasyf wal Bayan (Tafsir Ats Tsa’labi) karangan Ahmad bin Ibrahim An Naisaburi (w.427 H)
d) Ma’alimut Tanzil (Tafsir Al Baghawi) karangan Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi (w.510 H)
e) Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim (Tafsir Ibnu Katsir) karangan Ismail bin Umar Ad Dimisyqi (w.774 H)

2) Tafsir bi Ar Ra’yi (Tafsir bi Ad Dirayah/Tafsir bi Al Ma’qul/Tafsir bi Al Ijtihad)
 Pengertian
Kata ar ra’yu dapat diartikan al i’tiqad, al ijtihad atau al qiyas (masing-masing bermakna keyakinan atau kesungguhan upaya penalaran atau analogi).
Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi ar ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir yang lebih berorientasi pada penalaran yang bersifat aqly (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya, setelah terlebih dahulu mengenali lafal-lafal bahasa Arab dan mempertimbangkan asbabun nuzul, nasikh mansukh, serta alat bantu lain yang menjadi syarat kelengkapan dalam penafsiran.
 Macam Tafsir bi ar Ra’yi
Para ahli tafsir membagi tafsir bi ar ra’yi menjadi dua, yakni:
a) Tafsir Mahmud (tafsir yang terpuji) yang juga sering disebut Tafsir Masyru’ yaitu tafsir yang memiliki ciri-ciri berikut:
- Sesuai dengan tujuan syari’ (Allah)
- Jauh atau terhindar dari kebodohan dan kesesatan
- Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa arab) yang tepat dengan mempraktekkan gaya bahasa (uslub)nya dalam memahami nash al-Qur’an
- Tidak mengabaikan kaidah-kaidah
b) Tafsir Madzmum (tafsir yang tercela) yang juga sering disebut Tafsir Bathil yaitu tafsir yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai
- Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan
- Menafsirkan al-Qur’an dengan semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu
- Mengabaikan aturan-aturan bahas Arab dan aturan syari’ah yang menyebabkan penafsirannya rusak
 Kelebihan dan Kelemahan
Kelebihan Tafsir bi ar Ra’yi, terletak pada kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelemahan tafsir bi ar Ra’yi, terdapat kemungkinan penafsiran yang dipaksakan, subyektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subyektifitas mufassirnya.
 Contoh Kitab dan Pengarangnya
1. Mafatihul Ghaib (Tafsir Ar Razi) karangan Muhammad bin Umar Al Husain Ar Razi (w.606 H)
2. Tafsir Jalalain karangan Jalaluddin Al Mahali dan Jalaluddin As Suyuthi (w. 864 & 911 H)
3. As Sirajul Munir (Tafsir Al Khatib) karangan Muhammad Asy Syarbini Al Khatib (w.977 H)

3) Tafsir bi Al Isyarah
 Pengertian
Kata al isyarah merupakan sinonim ad dalil yang berarti tanda, petunjuk, indikasi, isyarat, perintah, signal, panggilan, nasehat, dan saran. Sedangkan secara istilah yakni menakwilkan al-Qur’an dengan mengesampingkan makna lahiriyah karena ada isyarat tersembunyi yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki ilmu tasawwuf, tetapi besar kemungkinan pula memadukan antara makna isyarat yang bersifat rahasia dengan makna lahir sekaligus.


 Macam-Macam
Tafsir bi al-isyarah dibagi menjadi dua, yaitu tafsir bi al isyarah yang maqbul/masyru’ dan tafsir bi al isyarah yang mardud.
Tafsir bi al isyarah yang maqbul/masyru’ adalah yang memenuhi 5 syarat diantaranya:
1. Tidak meniadakan makna lahirnya ayat Al Karimah
2. Tidak menyatakan bahwa makna isyarah itu merupakan murad satu-satunya, tanpa ada makna lahir.
3. Hendaknya suatu ta’wil tidak terlalu jauh sehingga tidak sesuai dengan lafal
4. Tidak bertentangan dengan syara’ maupun akal
5. Tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia, dengan menyertakan dalil syar’i untuk memperkuat penafsirannya
Tafsir bi al isyarah yang mardud adalah tafsir yang menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al isyari diatas.
 Kelebihan dan Kelemahan
Kelebihan, menunjukkan mufassirnya tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang sempurna imannya dan bersih pengetahuannya.
Kelemahannya, lebih mengutamakan intuisi (firasat) sehingga mengakibatkan ada kesulitan untuk membedakan mana yang benar-benar ilham dari Allah dan mana yang merupakan kecenderungan hawa nafsu.
 Contoh Kitab dan Pengarangnya
1. Gharib Al-Qur’an wa Raghaib Al Furqan karangan An Naisaburi (w.728 H)
2. Tafsir wa Isyarat Al-Qur’an (Tafsir Ibn ‘Arabi) karangan Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w.638 H)
3. Haqaiqut Tafsir (Tafsir As Silmi) karangan Abu Abdur Rahman As Silmi.

G. Metode Penafsiran Al Qur’an
Al Farmawi membagi metode penafsiran al-Qur’an menjadi empat macam metode, yaitu: tahliliy, ijmaliy, muqarran, dan mawdhu’iy.
1) Metode Tahliliy (Deskriptif/Analisis)
Metode tahlili disebut juga dengan metode tajzi’iy, merupakan salah satu metode tafsir yang menjelaskan dg menguraikan kandungan-kandungan (penafsiran) terhadap ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam mushaf. Secara umum metode ini dimulai dengan mengungkapkan arti kosa kata, kemudian diikuti dengan penjelasan arti secara global ayat-ayat tersebut, setelah itu diungkapkan dan diuraikan secara rinci, kesesuaian ayat-ayatnya, menjelaskan hubungan maksud ayat tersebut satu sama lain, dibahas pula asbabun nuzul, serta juga dikemukakan dalil, baik dari hadits Rasulullah saw, maupun pendapat para sahabat dan tabi’in.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemu’jizatan al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-terpisah.
2) Metode Ijmaliy (Global)
Secara bahasa al ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global. Sedangkan secara istilah yakni penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Qur’an melalui pembahasan yang bersifat umum, tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas juga tidak dilakukan rinci.
Metode ini menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsirannya sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini praktis, sederhana, mudah dipahami, bebas dari penafsiran israiliyyat, akrab dengan bahasa al-Qur’an, serta pesan dalam al-Qur’an mudah ditangkap. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas hingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Selain itu tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
3) Metode Muqarran (Komparasi/Perbandingan)
Yang dimaksud dengan metode komparasi (muqarran) adalah:
1) Membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus.
2) Membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan.
3) Membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.

Kelebihan metode muqarran diantaranya:
1) Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas
2) Menumbuhkan sikap toleran terhadap pendapat orang lain yang berbeda bahkan bertentangan
3) Mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat
4) Mufasir didorong untuk mengaji beberapa ayat dan hadits serta pendapat mufasir lain
Kelemahan metode ini antara lain:
1) Tidak dapat diberikan kepada penafsir pemula
2) Kurang dapat dijadikan jaminan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat
3) Lebih banyak menelusuri penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran baru
4) Metode Mawdhu’iy (Tematik/Topikal)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul.
Cara penafsiran dengan metode mawdhu’iy antara lain:
1) Menentukan topik
2) Menghimpun ayat
3) Menafsirkan ayat (asbabun nuzul, mengkaji ayat sampai tuntas)
4) Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut
5) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran atau pendapat mufasir
Kelebihan metode ini diantaranya dapat menjawab tantangan zaman, praktis dan sistematis, dinamis, serta membuat pemahaman menjadi utuh. Sedangkan kekurangannya antara lain memenggal ayat al-Qur’an dan membatasi pemahaman ayat.





Penutup
Kesimpulan;
Tafsir menurut bahasa: Al Idhah (menjelaskan), At Tibyan (menerangkan), Al Idzhar (menampakkan), At Tafshil (merinci). Tafsir berasal dari kata Al Fusru yang mempunyai arti Al Ibanah wa Al Kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu).
Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Az Zarkasyi yakni memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Secara singkat sejarah tafsir sebenarnya sudah dimulai dari masa beliau rosulillah saw.karena perbedaan mengenai penjelasan suatu ayat sudah muncul dikalangan para sahabat sejak beliau masih hidup. Namun perbedaan tersebut langsung mendapatkan jawaban dari beliau. kemudian sepeninggal Yang turun temurun hingga para tabi’in


Daftar Pustaka

Ash Shabuni, Muhammad Ali. tanpa tahun. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Terjemahan oleh Muhammad Qodirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani, 1988.
Fauziyah, Lilis. Rangkuman Ilmu Tafsir Program Keagamaan. Malang: MAN 3 Malang, 2008.
Kusmana dan Syamsuri. Pengantar Kajian Al-Qur’an. Jakarta: PT. Pusaka Al Husna Baru, 2004.
Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al Qur’an. Bandung: Mizan, 2001.
“Tafsir Al-Qur’an”, Wikipedia (on line), (http:// id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Al-Qur’an/, diakses 15 Desember 2009).












TAFSIR AL QUR’AN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah MSI


Dosen Pengampu : Tasmin, S.Ag.











Disusun oleh :

M. Mirwan Ali Zafi 933300509
Roisul Fathawiyana 933301009
Ahmad Qorib Yunus 903300209
Khoirul Anwar 903301309
M. Khoirul Anwar 903301209





Prodi Tafsir Hadits - Jurusan Ushuluddin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
2009






































Oleh Yudi maasrani

Pendahuluan.
Selain sebagai makhluk individual, manusia juga sebagai makhluk social. Sebagai makhluk social, manusia mau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan di mana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan social yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan, amanah dan lain sebagainya. Lingkungan yang demikian itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya.
Berkenaan dengan itu, pada gilirannya perlu adanya pembinaan masyarakat yang berpendidikan, beriman dan bertakwa. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam telah memberikan banyak perhatian terhadap pembinaan masyarakat. Khususnya bagaimana akan sebuah konsep amanah yang telah terkandung di dalam ayat-ayatNya.
Kata amanah (اَمَانَة), baik dalam bentuk mufrad maupun jamak disebutkan sebanyak enam kali di dalam Al-Quran. Kata amânah dalam bentuk mufrad ditemukan pada S. Al-Baqarah [2]: 283 dan S. Al-Ahzâb [33]: 72, sedangkan dalam bentuk jamak ditemukan pada S. An-Nisâ’ [4]: 58, S. Al-Anfâl [8]: 27, S. Al-Mu’minûn [23]: 8, dan S. Al-Ma‘ârij [70]: 32. Adapun yang akan dibahas penulis dalam tulisan ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir IV adalah Surat An-Nisa’ ayat 58 :
 •           ••     •      •     
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.



Pembahasan.
Kata amanah (اَمَانَة) adalah bentuk mashdar dari kata kerja amina - ya’manu - amnan - wa amânatan (اَمَانَةً وَ -اَمْنًا -يَأْمَنُ - اَمِنَ). Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf hamzah (حَمْزَة), mîm (مِيْم), dan nûn (نُوْن), yang bermakna pokok “aman”, “tenteram”, “tenang”, dan “hilangnya rasa takut”. Pakar bahasa, Ibrahim Mustafa menjelaskan bahwa amânah mengandung arti “pelunasan” dan “titipan”. Dalam bahasa Indonesia, amânah berarti “yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang”, “keamanan atau ketenteraman”, dan “dapat (boleh) dipercaya atau setia”.
Rasyid Ridha menegaskan bahwa al-amânât (اَلاَْمَانَات) di sini digunakan sebagai ism maf‘ûl (اِسْم مَفْعُوْل), yakni kata sifat selaku obyek dengan pengertian “segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”. Menurut Ath-Thabari, ayat ini ditujukan kepada para pemimpin (penguasa) agar menunaikan hak-hak umat Islam, seperti penyelesaian perkara rakyat yang diserahkan kepada mereka untuk ditangani dengan baik dan adil.
Kata Amanah yang terdapat pada ayat tersebut adalah sesuatu yang harus dipelihara dan disampaikan kepada pemiliknya. Orang yang melakukan perbuatan tersebut disebut sebagai orang yang aminan, wafiyan yaitu orang yang dapat dipercaya dan menunaikan tugas dengan sempurna : dan orang yang tidak dapat memelihara amanat disebut sebagai Khainan orang yang berkhianat. Adapun kata adil dalam ayat tersebut adalah menyampaikan kebenaran kepada pemiliknya.
Pada urainnya lebih lanjut al – Maraghi membagi amanat kepada tiga bagian. Pertama amanat seorang makhluk pada Tuhannya; yaitu segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia yang harus dijaganya, yaitu dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mengamalkan segala yang disyari’atkan dengan segenap jiwa dan raganya dalam bidang yang mendatangkan manfaat dan mendekatkan diri kepada-Nya. Di dalam hadist diinyatakan bahwa orang –orang yang khianat adalah penghianat Allah.
Kedua, amanat seorang hamba pada manusia yang lainya, yaitu orang yang diserahi sesuatu yang harus diberikan kepada pemiliknya tanpa mengambil sedikitpun, menjaga rahasia dan sebagainya yang menjadi milik orang lain, kerabat dan manusia pada umumnya. Berkenaan dengan ini, para ulama ada pula yang memasuki ke dalam kategori amanat ini adalah keadilan seorang pemimpin terhadap rakyatnya, dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam dengan cara memberi petunjuk kepada mereka untuk memiliki akidah yang kuat, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia dan akhirat, dengan cara menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang baik, usaha ekonomi yang halal, serta kegiatan dakwah dan penerangan hokum yang dapat memperkuat keimananya serta menjauhkannya dari perbuatan buruk dan dosa serta mendorongnya agar berbuat baik. Dalam hal ini termasuk pula sikap adil seorang suami pada istrinya.
Ketiga, amanat terhadap diri sendiri, yaitu dengan cara tidak melakukan perbuatan bagi dirinya kecuali perbuatan baik dan bermanfaat bagi kehidupan agama dan dunia, dan tidak pula mengutamakan perbuatan yang membawa bencana bagi kehidupan akhirat, berhati-hati dan menjaga diri terhadap sesuatu yang menyebabkan timbulnya penyakit jiwa dan penyakit fisik berdasarkan petunjuk para dokter. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu kesehatan dan terhadap waktu-waktu dimana penyakit tersebut menyebar.

Kesimpulan.
al-amânât dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, melainkan mencakup semua manusia, bahkan seluruh makhluk. Namun, seiring dengan amanah yang dibebankan kepada para penguasa, juga ditekankan kewajiban taat rakyat terhadap mereka. Pendapat lain dikemukakan oleh Al-Maraghi, yang mengklasifikasi amanah atas: (1) tanggung jawab manusia kepada Tuhan; (2) tanggung jawab manusia kepada sesamanya; dan (3) tanggung jawab manusia kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, Tanthawi Jauhari ketika menafsirkan ayat di atas, merumuskan cakupan makna kata al-amânât (اَلاَْمَانَات) yang cukup luas, yaitu segala yang dipercayakan orang berupa perkataan, perbuatan, harta, dan pengetahuan; Atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Jadi, kalau Al-Maraghi melihat term amanah dari sudut pandang “kepada siapa amanah harus dipertanggungjawabkan”, maka Tanthawi merumuskan lebih abstrak lagi, karena tidak saja berdasarkan pertanggungjawaban tetapi juga kegunaan yang terkandung dalam amanah itu.

Pustaka.
Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan-Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Shihab, Quraish, Amanah-Jujur dapat dipercaya, http:www.psq.or.id/ensiklopedia.
http://www.dakwatuna.com/2007/amanah/,









BAB I
PENDAHULUAN
Masalah penegakan hak-hak asasi manusia adalah masalah besar yang selalu dihadapi oleh mnusia sebagi penghuni dunia ini. Ada ahli yang mengatakan bahwa hak asasi manusia itu termasuk kebutuhan mendasar yang tidak kelihatan. Jadi suatu kebutuhan yang sejajar dengan sandang pangan, pemukiman dan kesehatan.
Kalau kita ketahui bahwa dunia ini masih ada penindasan, kezaliman, kekerasan dan lain sebagainya, yang di lakukan manusia satu terhadap manusia lain.
Melihat kenyataan ini penulis tergugah unuk menghimbau bahwa melestarikan dan menegakan hak-hak asasi manusia ini, kita harus kembali kepada Al-quran yaitu,konsepsi kemanusiaan yang dapat menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat.















BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati oleh negara dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Tanpa adanya hak ini berati berkuranglah harkatnya sebagai mnusia yang wajar. Dari pengertian diatas, maka hak asasi mengandung dua makna, yaitu:
• Pertama, merupakan hak alamiah yang melekat dalam diri manusia sejak manusia dilahirkan kedunia.
• Kedua, merupakan instrument untuk menjaga harkat martabat manusia sesuai dengan kodart kemnusiaannya yang luhur.

a. Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an
Manusia dalam hidupnya selalu menginginkan kebahagiaan dan kedamaian.Namun demikian manusia selalu menemui ritangan untuk mencapai maksud itu. Disebabkan pelanggaran atas hak-hak dan kebebasan asasinya oleh manusia yang lain.walaupun sudah bermacam-macam konsepsi yang dirumuskan untuk menjamin kebebasan dasar itu.
Untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaiyan itu manusia harus kembali kepada konsepsi Al-Qur’an.

Diantara konsepsi al-Qur’an tentang hak-hak asasi manusia adalah:
1. Hak Hidup, Kemerdekaan Dan Keamanan Pribadi
Hak hidup adalah salah satu dari hak-hak alami institusional yang tidak memerlukan persetujuan sosial atau semacamnya. Karena kehidupan merupakan karunia dari Allah SWT kepada setiap manusi.
Jiwa manusia adalah suci dan tidak boleh disakiti dan segala usahaharus dilakukan untuk melindunginya, terutama tidak seorang pun diperbolehkan menyakiti seseorang kecuali berdasarkan hukum seperti hukum qishash pada tindak pidana pembunuhan. Pelaksanaan hukum qishash ini hanya diberikan kepada kekuasaan negara (pemerintahan).
Karena sangat pentingnya arti hidup ini bagi manusia Allah memandang bahwa melenyapkan hidup seseorang tanpa hak sama artinya melenyapkan semua manusia, karena orang itu adalah anggota masyarakat. Sebaliknya menyelamatkan kehidupan seorang manusia berarti telah menyelamatkan semua kehidupan manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firmannya:..
           ••      •• 
Artinya: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia”.(Q.S.Al-Maidah:32)

2. Hak Kebebasan Beragama
Kebebasan manusia untuk memilih suatu agama yang dia yakini berdasar pada pertimbangan akal nurani. Begitu juga islam yang menjujung tinggi perbedaan agama, karena agama merupakan pandangan hidup manusia. Ide ini tercantum dalam al qur’an surat al baqoroh ayat 256.
      ••                     
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

3. Hak Kebebasan Berpikir dan Berpendapat
Hak ini adalah dimana manusia berpendapat atau mengekpresikan diri dalam kehidupan masyarakat. Diaman kebebasan ini dapat diungkapkan melalui media verbal (lisan), media cetak,media gerak. Demikian juga islam juga menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat. Sesuai dalam al qur’an surat shad ayat 29.
         
Artinya,”Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”

4. Hak Bekerja
Hak lain yang juga diatur dalam islam adalah hak bekerja. Ini sesuai dengan hadits rosululloh. Yang artinya,”berikanlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya, dan beritahukanlah upahnya sewaktu dia bekerja HR Al Bayhaqy”
5. Hak politik
Dalam islam juga menjamin hak politik seperti hak memilih kepala negara, hak musyawarah dan yang lainnya. Sesuai yang diriwayatkan Abdurrahman bahwa Nabi pernah bersabda “hai abdurahman ibn samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Jika engkau diberinya karena permintaan, engkau akan diberatkannya. Dan jika engkau diberinya tanpa meminta, maka engkau akan ditolong untuknya”























DAFTAR PUSTAKA

• Lopa Baharudin, 1999 Cet.2. Al-Qur’an Dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa).
• Dalizar, 1987. Konsepsi Al-Qur’an Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Pustaka Alhusna)
• Http://Cahpucuk.Multiply.Com/Journal/Item/1
• Http://Www.Ydsf.Org/Blog/Untaian-Hikmah/Maksud-Dan-Tujuan-Alquran-Dalam-Kehidupan-Manusia










HAK ASASI MANUSIA DALAM
Al-QUR’AN

Makalah ini susun untuk memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah ”Tafsir”

Dosen Pengampu :
Moh. Zainal Arifin, M.Hi










Disusun Oleh :
AHMAD QORIB YUNUS 9033 002 09

Prodi Tafsir Hadits – Jurusan Ushuluddin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2010

BAB I
A. PENADULUAN
Dahulu kampanye dianggap sebagai seuatu ajang manuver politik untuk menarik sebanyak munkin pemilih dalam pemilihan umum untuk meraih kekuasan . Segala cara dipakai dengan memberikan janji-janji muluk yang acap kali tidak masuk akal . Kampanye kerap kali sekedar basa basi politik belaka. Sering kali mereka melupakan Janji-Janji mereka setelah kekuasan diperoleh. Rakyat sendiri bersikap apatis dan masa bodoh , yang pentig aman . Ketidak percayaan mereka pada partai politik semakin kental.Hal ini terlihat sangat gamblang terjadi di Negara-negara berkebang . meski di Negara majupun tejadi seacara sembunyi-sembunyi.
Orang semakin tidak percaya pda partai politik. Sehingga sebagian kalangan lebih memilih Golput. Keadaan telah berubah. Hadirnya teknologi komunikasi membuat masyarakat menjadi kritis dan terbuka. Mereka ahirnya menganalis dan membuat perbandingan-perbandingan akan sesuatu yang terjadi di Negara lain dengan sesuatu yang terjadi di Negara mereka.Semakin kritisnya masyarakat harus disimak dan diperhatikan oleh partai politik. Jika mereka ingin terus bertahan.
Pembenahan harus segera mereka lakukan disegala lini, diantaranya pola kampanye yang sebelumnya hanya sebagai proses jangka pendek, yang tujuannya hanya sebatas memperoleh kemenangan pemilu. Mereka harus memperbaikinya menjadi proses kampanye menuju jangka panjang. Mereka harus menanamkan imeg partai agar dianggap baik dan diterima masyarakat ,yang nantinya akan sagat berpengaruh untuk priode kedepan. Segala ucapan dan tindakan harus dilakukan secara hati-hati dalam menyikapi kondisi masyarakat yang kritis.
Dalam makalah ini penulis sedikit menguraikan tentang pemaknaan tentang kampanye serta menjelaskan tentang strategi dan pesan-pesan dalam berkampanye agar kampanye bukan hanya menjadi basa-basi politik belaka, melainkan sbagai janji yang harus di laksanakan dan di upayakan oleh para elit politik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kampanye
Proses interaksi intnsif dari patai politik kepada publik dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilu, dalam definisi ini kampanye poltik adalah priode yang di berikan panitia pemilu kepada semua konstentan baik partai poltik maupun perorangan untuk memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka dalam pencoblosan. Kampanye dalam kaitan ini dipandang sebagai aktifitas pengumpulan massa, parade politik, orasi politik, pemasangan atribut partai dan pengiklanan partai. Kampanye seperti ini diakhiri dengan pemunggutan suara untuk menentukan siapa yang akan mendapat dukungan suara terbanyak dalam pemenang pemilu. Kampanye ini menimbulkan biaya yang sangat besar dan ketidak pastian hasil.
Kampanye menurut id.wikipedia.org. adalah sebuah tindakan politik yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan. Usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir. Kampanye biasa juga dilakukan guna mempengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian atau untuk mengubah kebijakan dalam suatu institusi
Kampanye politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para calon pemilih.
.Kampanye pada prinsipnya merupakan suatu proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Rogers dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu” (Venus, 2004:7 )
Beberapa ahli komunikasi mengakui bahwa definisi yang diberikan Rogers dan Storey adalah yang paling popular dan dapat diterima dikalangan ilmuwan komunikasi (Grossberg, 1998; Snyder, 2002; Klingemann & Rommele, 2002). Hal ini didasarkan kepada dua alasan. Pertama, definisi tersebut secara tegas menyatakan bahwa kampanye merupakan wujud tindakan komunikasi, dan alasan kedua adalah bahwa definisi tersebut dapat mencakup keseluruhan proses dan fenomena praktik kampanye yang terjadi dilapangan
Definisi Rogersda Storey juga umumnya dirujuk oleh berbagai ahli dari disiplin ilmu yang berbeda seperti ilmu politik dan kesehatan masyarakat.
Merujuk pada definisi-definisi diatas, maka kita dapat melihat bahwa dalam setiap aktivitas kampanye komunikasi setidaknya mengandung empat hal, yaitu tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, jumlah khalayak sasaran yang besar, dipusatkan dalam kurun waktu tertentu, Selain empat pokok ciri diatas, kmpanye juga memiliki cirri atau karakteristik yang lainnya, yaitu sumber yang jelas, yang menjadi penggagas, perancang, penyampai sekaligus penanggung jawab suatu produk kampanye (campaign makers), sehingga setiap individu yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi dan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir

B. Redefinisi kampanye
Pengertian kampanye politik sebatas priode tertentu menjelang pemilui mengandung beberapa kelemahan. Pertama, interaksi politik antara partai politik seolah hanya terjadi selama priode tersebut . Padahal , interaksi politik harus dilakukan terus menerus dan tidak dibatatsi semata-mata oleh priode tertentu .Interaksi politik adalah aktifitas yang permanen dan secara berkesinambungan harus dilakuan oleh partai politik..Anggapan ini juga membuat interaksi politik diluar kampnye menjadi tidak begitu penting . Semua orang dan pihak mengonsentrasikan diri mengalokasikan semua sumber daya untuk priode menjelang pemilu.
Kedua, kampanye politik adalah proses komunikasi politik dialogis antara partai politik dan masyarakat. Tujuan komunikasi politik adalah untuk menciptakan kesamaan pemahaman dan presepsi antara partai dan masyarakat. kalau kampanye politik hanya sebatas kampanye pemilu , dikhawatikan tidak akan tercipta kesamaan pemahaman politk diantara kedua belah pihak. pesan dan image politik di pemilu yang satu akan berbeda dengan pemilu selanjutnya.
Ketiga fokus pada priode tertentu menjelang pemilu membuat arti penting public di mata partai menjadi sekedar pemberi suara untuk memenangkan pemilu. Ketika priode kampanye usai dan muncul pemenang, public tidak dibutuhkan lagi. Pesan dan janji politik tenggelam dalam hiruk pikuk pembagian kekuasaan di tubuh eksekutif atau legislative.
Memposisikan kampanye politik sebatas kampanye pemilu membuat edukasi masyarakat menjadi tidak komprehensif. masyarakat hanya diposisikan sebagai konsumen yang pasif, dan menunggu dimobilisasi ke bilik-bilik suara.
Harus dilakuakan redefinisi atas pengertian kampanye. Untuk itu harus dilihat adanya dua jenis kampanye. Pertama adalah kampanye menjelang pemilu. Kampanye short term ini digunakan sebagai kompetisi jangka pendek menjelang pemilu untuk mengingatkan, membentuk dan mengarahkan opini public dalam waktu yang singkat.
Kedua adalah kampanye yang besifat permanen dan berlaku untuk jangka panjang. Konsekuwensuinya, partai politik perlu memikirkan terus menerus mengevaluasi setiap aktifits mereka, karena mereka terus menerrus diamati dan dianalisis oleh public.
Pembetukan image positif melalui semua aktifitas pelayanan public dalam jangka panjang akan tertanam dalam benak masyarakat. Partai yang sekedar memperhatikan public pada priode pemilu sama daja dengan melakukan ekploitasi public.
Menurut lock dan haris {1996] kampanye politik terkait erat dengan pembentukan image politik. Dalam kampanye politik terdapat hubungan yang akan dibangun, yaitu internal dan eksternal.Hubungan internal adalah satu proses antara anggota-anggota partai dengan pendukung untuk memperkuat ikatan ideologis dan identitas meraka. Semantara hubungan eksternal dilakukan untuk mengkomunikasikan image yang yang akan dibangun keapada pihak luar partai, termasuk media massa dan masyarakat secara luas.
Kampanye pemilu adalah bagian kecil dari kampanye politik. Meskipun satu partai atau kandidat tidak berada dalam dalam priode kampanye pemilu. Setiap ucapan dan tindakannya dapat dikategorikan sebagai kampanye politik. Artinya kampanye pemilu dan kampanye politik saling ,melengkapi . Bukannya harus memilih salah satu. Kampanye pemilu memiliki beberapa keterbatasan seperti yang telah disebutkan di atas. Disisi lain kampanye pemilu sangat dibutuhkan untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali reputasi dan image politik yang telah dibangun.
Kampanye politik bersifat jangka panjang membutuhkan penegasan dan penguatan ulang melalui kampanye pemilu. Mobilisasi massa untuk masuk ketempat pencoblosan juga sangat penting. Namun harus didukung kampanye politik yang terus menerus dilakukan.
Image positif yang dimiliki kandidat dapat membantu mayakinkan pemilih bahwa janji janji serta harapan poilitik yang diberikan benar-benar dimaksudkan untuk perbaikan bangsa dan Negara, bukan untuk kepentingan politik praktis belaka,
Sementera image negtif akan menyulitkan kandidat bersangkutan untuk meyakinkan pemilih bahwa program kerja yang disampaikanya benar-benar demi perbaikan kondisi masyarakat.


C. Efek kampanye

Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari beberapa poin berbicara tentang isu-isu kebijakan. Poin2 ini akan dirangkum dari ide utama dari kampanye dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada pemilih.
Studi-studi tentang efek kampanye terhadap pilihan seseorang menghasilkan kesimpulan yang beragam. Di satu sisi, kampanye dipandang memiliki pengaruh yang besar.Di sini,
kampanye tidak hanya sekadar berpengaruh tetapi juga mampu mengubah pilihan seseorang. Di sisi yang lain, pengaruh kampanye dianggap. Kesimpulan ini didasari oleh argumentasi bahwa jauh hari sebelum diadakan pemilihan, di bawah alam sadar para pemilih sudah terbangun pilihan-pilihannya. Fungsi kampanye, dalam situasi seperti ini, tidak lebih untuk memperkuatpilihan-pilihan yang mulai terbentukitu.
Efek kampanye sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari realitas seberapa besar “floating voters (FV)” atau “swing voters (SV)”yang ada. Semakin kecil besaran FV atau SV semakin kecil juga ruang bagi kampanye untuk memengaruhi pemilih. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa untuk mengubah pemilih yang tidak terkategorikan sebagai FV dan SV itu tidak mudah dilakukan. Sebaliknya,ketika besaran FV atau SV itu cukup berarti, pengaruh kampanye terhadap pilihan pemilih memiliki potensi yang lebih besar juga.
Musim kampanye, dalam pemilih demikian, dipandang sebagai “ruang pameran” yang menawarkan barang-barang yang akan dibeli. Para pemilih akan membeli setelah melakukan penilaian terhadap “barang-barang” yang ditawarkan oleh parpol itu. Di Indonesia, besaran FV atau SV cukup besar, sekitar 30%-an. Artinya, pengaruh kampanye seharusnya juga tetap besar. Hanya saja, pengaruh kampanye itu bisa lebih kecil karena pola perilaku memilih di Indonesia dalam beberapa hal berbeda dengan perilaku pemilih di negara-negara maju .

D. Strategi Kampanye
Bagaimana agar kampanye berdaya dan berhasil guna alias efektif dan efisien? Kampanye lazimnya merupakan kerja tim. Karenanya, kampanye memerlukan penanganan dan manajer khusus, mulai penggalangan dari dana, penentuan waktu dan tempat, rekrutmen tenaga ahli untuk menyusun naskah pidato kampanye (script writer), hingga pengamanan selama pelaksanaan. Ringkasnya, tujuan manajemen kampanye adalah terorganisasi dengan baik sehingga hasilnya optimal.
Agenda setting memiliki potensi untuk membangun masalah-masalah bagi publik. Seperti dikatakan McComb dan Shaw, media menentukan isu-isu penting, yang berarti media mengatur ‘agenda’ dari kampanye
Dalam sebuah kampanye pemilihan di Denmark, penelitian menunjukkan adanya tiga pengaruh agenda. Pertama, sejauh mana media mencerminkan agenda publik atau yang disebut dengan representasi. Dalam agenda representasional, publik yang mempengaruhi media. Kedua, pemeliharaan agenda yang sama oleh publik selama waktu itu yang disebut persistensi. Dan ketiga, terjadi apabila agenda media mempengaruhi agenda publik, yang disebut persuasi. Jenis pengaruh yang ketiga ini media mempengaruhi public adalah tepat seperti apa yang diramalkan oleh teori agenda setting klasik.
Meski dikatakan McCombs dan Shaw bahwa editor, staf pemberitaan dan penyiar memainkan peranan penting dalam mempertajam realitas politik, memilihkan what to think about kepada publik, namun berita politik merupakan gabungan kreasi antara jurnalis dan komunikator politik lain—politikus, profesional dan juru bicara—yang mempromosikannya. Sehingga, hal tersebut memungkinkan persuader ikut ‘bermain’ dalam agenda setting.
Dalam konteks persuasi politik, kaitan agenda setting di sini adalah dengan propaganda, periklanan dan retorika. Temua-temuan riset menyebutkan, untuk bisa mempengaruhi agenda setting, pesan akan dilihat berdasarkan isi dan struktur pesan.
Persuasi modern menggunakan semua saluran komunikasi modern. Imbauan kepada massa dilakukan baik melalui hubungan tatap muka ataupun melalui media antara, yaitu media elektronik, media cetak dan poster.
Melihat perkembangan terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, selain mengandalkan iklan televisi dan kaset video yang kirim langsung ke pemilih, persuasi kini juga menggunakan teknologi informasi (internet)
Pada hakikatnya strategi kampanye suara terbanyak, memberi peluang kepada politisi dan caleg partai untuk menggelar reformasi kampanye pemilu. Sebab secara universal kampanye yang bermaksud untuk memperoleh setidaknya mayoritas relatif jumlah suara pemilih itu, diupayakan sejauh mungkin memenuhi kriteria demokrasi.
Calon memperlakukan pemilih sebagai pihak yang harus dilayani, bukan lagi sebagai himpunan manusia yang punya hak pilih, untuk dihimpun dan diberikan informasi demi kemenangannya. Strategi itu memerlukan rangkaian taktik, mulai dari pemetaan wilayah dan penduduk dapil, dalam rangka memahami permasalahan pemilih dari kelompok ke kelompok,mulai dari keluarga sampai komunitas.
Dengan begitu, kampanye akan berisi berbagai tawaran solusi masalah, sesuai dengan karakteristik alam dan penduduk serta keseharian kehidupan pemilih.Kampanye membumi, dan terlaksana, sehingga mudah direspons oleh pemilih secara positif. Mengkomunikasikan substansi kampenye yang relevan, tentulah sejalan dengan mekanisme demokrasi yaitu persuasi. Tekniknya adalah tatap muka(head to head) dan pertemuan kelompok kecil,yang diproses dengan penjelasan dan diskusi atau debat publik,Penggunaan pemberitaan dan iklan di media massa (koran, majalah, radio, TV) tentu saja bergu na.





BAB III
KESIMPULAN

Semakin kritisnya masyarakat harus disimak dan diperhatikan oleh partai politik. Jika mereka ingin terus bertahan.Pembenahan harus segera mereka lakukan disegala lini.
Dari berbagai definisi-definisi, maka dpat diambil kesimpulan aktivitas kampanye komunikasi setidaknya mengandung empat hal, yaitu tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, jumlah khalayak sasaran yang besar, dipusatkan dalam kurun waktu tertentu.
Selain empat pokok ciri diatas, kmpanye juga memiliki cirri atau karakteristik yang lainnya, yaitu sumber yang jelas, yang menjadi penggagas, perancang, penyampai sekaligus penanggung jawab suatu produk kampanye sehingga setiap individu yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi dan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir.
Harus dilakuakan redefinisi atas pengertian kampanye. Untuk itu harus dilihat adanya dua jenis kampanye. Pertama adalah kampanye menjelang pemilu. Kampanye short term ini digunakan sebagai kompetisi jangka pendek menjelang pemilu untuk mengingatkan, membentuk dan mengarahkan opini public dalam waktu yang singkat. Kedua adalah kampanye yang besifat permanen dan berlaku untuk jangka panjang. Konsekuwensuinya, partai politik perlu memikirkan terus menerus mengevaluasi setiap aktifits mereka, karena mereka terus menerrus diamati dan dianalisis oleh public.
Studi-studi tentang efek kampanye terhadap pilihan seseorang menghasilkan kesimpulan yang beragam. Di satu sisi, kampanye dipandang memiliki pengaruh yang besar. Kampanye lazimnya merupakan kerja tim. Karenanya, kampanye memerlukan penanganan dan manajer khusus, mulai penggalangan dari dana, penentuan waktu dan tempat, rekrutmen tenaga ahli untuk menyusun naskah pidato kampanye (script writer), hingga pengamanan selama pelaksanaan. Ringkasnya, tujuan manajemen kampanye adalah terorganisasi dengan baik sehingga hasilnya optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Arbi, Sanit “ artikel/kampanye-da,n-demokras” http://vgsiahaya.wordpress.com/ i/, diakses 04 oktober 2010
Bagus , Sihnu” pengertian-kampanye “ http://all-about-theory.blogspot.com/2010/03/.html 06 September 2008,diakses 04 oktober 2010, diakses 04 oktober 2010
Firmanzah, ” Marketing politik{ Jakarta : Yayasaan obor Indonesia, 2007, }
“ definisi-kampanye “4,March,2009.http://seputarpialaeropa.co.cc/uncategorized/.html, diakses 04 oktober 2010
"Kampanye politik" Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Kampanye_politik#cite_note-0 . diakses 04 oktober 2010
marijan , kacung “ Implikasikampanye tebuka” 19 maret 2009, diakses 04 oktober 2010
“ manajemen-kampanye “, http://www.romeltea.com/2010/01/20/ , diakses 04 oktober 2010
Sutadi, Heru “ strategi-kampanye-persuasi-politik “,http://hsutadi.blogspot.com/2008/09/ dan.html, diakses 04 oktober 2010














Kampanye politik

Makalah ini Di susun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah ;
Ilmu Politik

Dosen Pengampu :
M. Muwaffiqillqh, M.Fil.












Disusun oleh :

Ahmad Wahidin; 903300309


FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN KEDIRI 2010

Selasa, 05 Oktober 2010

KOnsep Qaulan Ma`rufan dalam alquran

KOnsep Qaulan Ma`rufan dalam alquran
Ahmad Wahidin

BAB I

PENDAHULUAN


Saat ini bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan masyarakat Islam tidak lagi menunjukan ciri dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi etika dan kelemah lembutan. Budaya dan adat ketimuran lebih tergatikan dengan budaya-budaya barat.
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia. Allah mengajarkan manusia pandai berbicara .”Al bayan dan al-qaul”. Al-Qur`an diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang membutuhkan komunikasi , maka dari itu , alQur`an memberikan kontribusi sebagai tuntutan dalam berkomunikasi.
Sayangnya dalam kenyataanya masih banyak manusia yang dalam berkomunikasi tanpa mempertimbangkan prisip-prinsip dalam komunikasi sebagaimana disarankan al-Qur`an. Jika prinsip dasar berkomunikasi dalam al-Qur`an dilaksanakan secara konsisten , maka hhubungan antara manusia akan mengalami ketentraman. Hal ini senada dengan yang diisyaratkat Rasullah dalam sabdanya” Muslim yang baik adalah jika muslim lain merasa tentram dari perkataan da perbuatannya “. Ucapan dalam komunikasi yang digambarkan dalalam al-Qur`an setidaknya merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan untuk menuju manusia yang berkepribadian luhur dan mulia.Dari salah satu prinsip berkomunikasi dalam alQuran itu diantaranya adalah { •} perkataan yang baik. Dalam pembhasanya penulis akan berusaha membahasnya dengan rumusan masalah sebagai berikut ;
1. Apakah yang dimaksud dengan { •}
2. penjelasan al Quran tentang { •} } dantafsirnya
3. Hadis Tentang berkata baik

4. Kesimpulan



BAB II
PEBAHASAN
A. Pengertian
Kata ma`ruf adalah isim maf`ul, kata kerjanya adalah `arafa yang mengandung arti mengetahui ,mengenal atau mengakui ,melihat dengan tajam atau mengenali perbedaan. Kata ma`ruf kemudin diartikan sebagai sesuatu yang diketahui,yang dikenal atau yang diakui. Adakalanya juga diartikan sebagai menurut nalar,sepantasnya dan secukupnya. Al-Raghib al-Ashfahani mengartikan sebagai{{  • } “apa yang dianggap baik oleh akal dan syari`at.
Secara bahasa,arti kata ma`ruf adalah baikdan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan masyarakat lingkungan penutur. Menurut Amir, arti Qaulan ma`rufan sebagai perkatan yang baik dan pantas. Baik dengan norma dan nilai, sedangkan pantas sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkanya. .Dengan kata lain menurut beberapa ahli baik ahli tafsir seperti Hamka dan Al-Buruswi maupun pendapat ahli lainnya bahwa qaulan ma’rufa mengandung arti perkataan yang baik, yaitu perkataan yang sopan, halus, indah, benar, penuh penghargaan, dan menyenangkan, serta sesuai dengan kaidah dan hukum dan logika.
Secara kontekstual,ayat al-Qur`an yang megungkap kalimat tersebut dalam konteks peminangan pemberin wasiat dan waris. Karena itu Qaulan mma`rufan mengandung arti ucapan yang halus sebagaimana ucapan yang disukai oleh perempuan dan anak-anak; pantas unttuk diucapkan oleh pembicara maupun untuk orang yang diajak bicara. Al-Burusi turut menjelaskan bahwa ungkapan qaulan ma`ufan adalh ungkan an bahasa yan halus seperti ucapan laki-laki kepada perempuan yang akan dipersuntingnya..
Dengan demikan dapat disimpulkan bahwa qaulan ma`rufan mengandung arti perkataan yang baik, yaitu perkataan yang sopan, halus indah, dan menyengakan. .Kata ma`ruf dalam al-Qur`an terbilanng sebanyak lima kali. Masing-masing dalam Q.s. Al Baqarah dan263, Q.s.al Nisa/4:5 dan8,. Q.s Muhammad/47;21. Secara harfiah ungkapan al baqarah tersebut mengandung arti “ perkataan yang baik” .


                          •            •         •    
                           

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

               • 
“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”{Q.s AN.Nisa ;5 }

B. Tafsir Qqulqn Ma`rufan
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa Allah melarang dalam firmanNya ayat 5 menyerahkan harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, yaitu orang-orang yang belum baligh, orang gila dan orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya. Mereka itu seharusnya tidak diberi kesempatan untuk mengatur harta bendanya karena harta tersebut merupakan sandaran bagi manusia. Dan walaupun kepada mereka itu dilarang memberi harta, namun wajib bagi sang waris menguasai harta milik mereka dan diwajibkan baginya memberi mereka pakaian dan belanja dari hasil harta mereka itu dengan disertai ucapan dan kata-kata yang baik. (Ibnu Katsir:307)
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan mengenai قولا معروفا yaitu melembutkan kata-kata dan menepati janji. Dan beberapa ulama’ berselisih mengenai kata . Sebagian mengartikan: serulah mereka, semoga Allah melimpahkan keberkahan bagimu dan menjagamu. Dan ada sebagian yang lain mengartikan yaitu berilah janji dengan janji yang baik. (MustafaAl-Maraghi:33) Dalam Tafsir Adz-Dzikro, ditafsirkan; maksudnya: harta orang yang di bawah kekuasaanmu. Bila harta mereka diserahkan kepadanya, padahal mereka belum sempurna akal, jika harta itu disiasiakannya, maka kewajiban si wali memberikan nafkahnya dengan hartanya sendiri. Jika harta yang disia-siakannya itu (sekalipun hartanya sendiri) berarti harta si wali sendiri dialah yang bertanggung jawab.
Dalam kitab fathu al-Qadir dijelaskan bahwa makna “قَوْلًا مَعْرُوفًا” adalah perkataan yang indah dan tidak mengandung unsur sindiran yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Sumber lain menyebutkan bahwa “قَوْلًا مَعْرُوفًا” adalah perkataan yang baik yang ditujukan kepada orang-orang yang lemah dalam hal finansial yaitu anak yatim dan orang miskin .
  •           
“ Ta'at dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). apabila Telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). tetapi Jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka”[Q.s mumammad ayat 21 }

C. Hadiss Tentang berkata baik
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ))
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka ucapkanlah (perkataan) yang baik atau diam!" (HR. Al-Bukhariy no.6018 dan Muslim no.47)
sesungguhnya orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentulah dia merasa takut terhadap ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Dan yang lebih penting dari itu adalah menjaga segala anggota badannya karena kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat atas apa yang telah dilakukannya.
BAB III
PENUTUP
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia sejak awal penciptaannya al-Qur`an untuk sarana berkomunikasi. Al-Qur`an diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang membutuhkan komunikasi , maka dari itu alQur`an memberikan kontribusi sebagai tuntutan dalam berkomunikasi. Salah satu prinsip berkomunikasi dalam alQuran itu diantaranya adalah {•}perkataan yang baik.Secara bahasa,arti kata ma`ruf adalah baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan masyarakat lingkungan penutur. Dalam artian Qaulan ma`rufan sebagai perkatan yang baik dan pantas. Baik dengan norma dan nilai, sedanangkan pantas sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkanya
Dengan demikan dsapat disimpulka bahwa qaulan ma`rufan mengandung arti perkataan yang baik, yaitu perkataan yang sopan, halus indah, dan menyengakan. Kata ma`ruf dalam al-Qur`an terilanng sebanyk 5 kali. Masing-masingdalam Q.s. dan 263, Q.s. al Nisa/4:5 dan 8, Q.s Muhammad/47;21. Secar harfiah ungkapan al baqarah tersebut mengandung arti “ perkataan yang baik”.





DAFTAR PUSTAKA

1. Abd. Rahman, “Komunikasi Ilahiyah dan insaniayah” { Malang : U IN Malang press. } hal;100-101
2. AL Qur`an terjenahan
3. http://imamu.staff.uii.ac.id/konsep-komunikasi-dalam-al-qur%E2%80%99a/,
4. http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/ucapan-yang-baik.html,
5. http://naifu.wordpress.com/2010/08/12/profesionalisme-dalam-perspektif-al-qur%E2%80%99an/30 Desember 2009,
6. Nurdin, Ali, Quranik society,tjr.Sayid dadi,Arum Titisari {Jakarta : Aksara Pertama.2006}- hal.1;65
7. Rahman, Abdul Komunikasi Ilahiyah dan insaniayah { Malang : U IN Malang press. } hal;97-98 }
8. Nurdin, Quranik society,tjr.Sayid dadi,Arum Titisari {Jakarta : Aksara Pertama.2006} hal; 165