sip

sip
ditengah

Minggu, 10 Oktober 2010

Campuran

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun Allah swt tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafadz yang sedikit saja, dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir al-Qur’an.

B. Pokok Bahasan
1) Pengertian Tafsir
2) Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
3) Sejarah Tafsir al-Qur’an
4) Corak Penafsiran al-Qur’an
5) Kodifikasi Tafsir
6) Bentuk Tafsir al-Qur’an
7) Metode Penafsiran al-Qur’an















Pembahasan

A. Pengertian Tafsir
Tafsir menurut bahasa: Al Idhah (menjelaskan), At Tibyan (menerangkan), Al Idzhar (menampakkan), At Tafshil (merinci). Tafsir berasal dari kata Al Fusru yang mempunyai arti Al Ibanah wa Al Kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu).
Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Az Zarkasyi yakni memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.

B. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Menurut bahasa, ta’wil berasal dari al awal artinya kembali/kembali ke asal (al rujuu’), al Ma-al (tempat kembali), atau diartikan al iyaalah yang berarti mengatur.
Menurut ulama salaf, ta’wil adalah:
1. Menafsirkan suatu pembicaraan (teks) dan menerangkan maknanya tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
2. Substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri

Sedangkan menurut ulama kontemporer (khalaf) yakni: mengalihkan lafal dari pengertiannya yang kuat (rajah) kepada makna lain yang dikuatkan/dianggap kuat (marjuh) karena ada dalil lain yang mendukung.
Perbedaan tafsir dan ta’wil diantaranya:
1. Tafsir lebih umum dan ta’wil lebih khusus
2. Tafsir lebih berorientasi pada riwayat dan makna lahir ayat, sedangkan ta’wil lebih berorientasi pada makna tersirat (isyarat) dan pemahaman ayat.
3. Tafsir menjelaskan apa yang sudah jelas dalam al-Qur’an dan hadits, ta’wil menjelaskan makna yang tersembunyi
4. Tafsir lebih bersifat riwayat, dan ta’wil lebih bersifat dirayah

C. Sejarah Tafsir Al Qur’an
Sejarah ini diawali pada masa Rasulullah saw masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu para sahabat dapat langsung menanyakan kepada Rasulullah saw. Secara garis besar ada 3 sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an.
Al-Qur’an itu sendiri, karena terkadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
Rasulullah saw semasa masih hidup, para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau saw tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
Ijtihad dan pemahaman mereka sendiri, karena mereka adalah orang-orang arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini, dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah saw terutama pada masalah asbabun nuzul. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi, maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah saw.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an antara lain Khulafaurrasyidin, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari, Abdullah bin Zubair.
Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadits. Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi tabi’in yang belajar islam melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada 3 kota utama dalam pengajaran al-Qur’an yang masing-masing melahirkan madrasah atau madzhab tersendiri yaitu Mekkah dengan madrasah Ibn Abbas dengan murid-murid Al Mujahid Ibn Jabir, Atha’ bin Abi Ribah, Ikrimah Maula Ibn Abbas, Thaus Ibn Kisan Al Yamani dan Said ibn Jabir. Madinah dengan madrasah Ubay bin Ka’ab dengan murid-murid Muhammad ibn Ka’ab al Qurazhi, Abu Al Aliyah Al Riyahi, dan Zaid Ibn Aslam dan Irak dengan madrasah Ibnu Mas’ud dengan murid-murid Al Hasan Al Bashri, Masruq Ibn Al Ajda, Qatadah Ibn Di’amah, Atah Bin Abi Muslim Al Khurasani dan Marah Al Hamdani.
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadits namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadits, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh ulama sesudahnya seperti Ibn Majjah, Ibn Jarir Ath Thabari, Abu Bakar Ibn Al Munzir An Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilha yang disebut Tafsir Bil Ma’tsur. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Abbasiyah menurut pengembangan mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al ma’tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdsasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai Tafsir Bi Ar Ra’yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawwuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai Tafsir Isyarah.

D. Corak Penafsiran Al Qur’an
Diantara berbagai corak penafsiran antara lain :
1) Corak sastra bahasa, timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-Qur’an di bidang ini.
2) Corak filsafat dan teologi, berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal. Corak ini muncul akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tidak masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
3) Corak penafsiran ilmiah, timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
4) Corak fiqih atau hukum, lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an. Timbul akibat berkembangnya ilmu dan madzhab-madzhab fiqih, yang menyebabkan perbedaan pendapat dalam penafsiran ayat-ayat hukum.
5) Corak tasawwuf, akibat timbulnya gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
6) Corak sastra budaya kemasyarakatan, menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha untuk menanggulangi masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.

E. Kodifikasi Tafsir
Kodifikasi tafsir dapat dilihat dalam tiga periode, yakni :
1) Periode I, yaitu masa Rasul saw, sahabat, dan permulaan masa tabi’in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan.
2) Periode II, bermula dengan kodifikasi hadits secara resmi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H). tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits-hadits, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadits walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah tafsir bi al ma’tsur.
3) Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al Farra (w. 207 H) dengan kitabnya Ma’ani Al Qur’an.

F. Bentuk Tafsir Al Qur’an
Dilihat dari sumber pengambilan atau orientasi penafsirannya, tafsir dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yakni :
1) Tafsir bi Al Ma’tsur (Tafsir bi Ar Riwayah/Tafsir bi Al Manqul)
 Pengertian
Kata al Ma’tsur secara bahasa berarti menyebutkan atau mengutip dan memuliakan atau menghormati. Al Ma’tsur pada hakekatnya mengacu pada makna yang sama yaitu mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada dari orang lain atau masa lalu.
Secara istilah, Muhammad Ali Ash Shabuni merumuskan sebagai berikut, tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an atau Sunnah atau pendapat sahabat dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah swt. Dengan demikian tafsir bi al Ma’tsur adakalanya ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah, dan menafsirkan al-Qur’an dengan apa yang dikutip dari pendapat sahabat.
 Kelebihan dan Kelemahan
Kelebihan tafsir bi al Ma’tsur diantaranya, merupakan tafsir yang paling berkualitas. Karena jika pada sebagian ayat al-Qur’an ada yang mujmal (global), maka pada bagian lain seringkali dijumpai ayat yang uraiannya relatif rinci. Namun apabila tidak dijumpai keterangan tentang ayat tersebut dalm al-Qur’an maka berpegang pasa sunnah. Dan apabila dalam keduanya (al-Qur’an dan sunnah) tak dijumpai, maka berpegang pada pendapat para sahabat.
Kelemahan tafsir bi al Ma’tsur diantaranya :
a) Mencampur adukkan antara riwayat yang shahih dan tidak shahih (dalam hal kualitas sanad ataupun matannya sebagaimana dalam ilmu hadits)
b) Sering dijumpai kisah-kisah Israiliyyat yang berbau khurafat, tahayyul dan bid’ah.
c) Sebagai pengikut madzhab tertentu sering mencatat nama-nama mufassir terkemuka tanpa adanya bukti yang benar.
d) Orang kafir zindiq yang memusuhi Islam seringkali menyisipkan kepercayaannya melalui sahabat dan tabi’in.
 Contoh Kitab dan pengarangnya
a) Jami’ul Bayan Fi Tafsir al-Qur’an (Tafsir Ath Thabari) karangan Muhammad bin Jarir Ath Thabari (w.310 H)
b) Bahrul ‘Ulum (Tafsir As Samarqandi) karangan Nashar bn Muhammad As Samarqandi (w.373 H)
c) Al Kasyf wal Bayan (Tafsir Ats Tsa’labi) karangan Ahmad bin Ibrahim An Naisaburi (w.427 H)
d) Ma’alimut Tanzil (Tafsir Al Baghawi) karangan Al Husain bin Mas’ud Al Baghawi (w.510 H)
e) Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim (Tafsir Ibnu Katsir) karangan Ismail bin Umar Ad Dimisyqi (w.774 H)

2) Tafsir bi Ar Ra’yi (Tafsir bi Ad Dirayah/Tafsir bi Al Ma’qul/Tafsir bi Al Ijtihad)
 Pengertian
Kata ar ra’yu dapat diartikan al i’tiqad, al ijtihad atau al qiyas (masing-masing bermakna keyakinan atau kesungguhan upaya penalaran atau analogi).
Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi ar ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir yang lebih berorientasi pada penalaran yang bersifat aqly (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya, setelah terlebih dahulu mengenali lafal-lafal bahasa Arab dan mempertimbangkan asbabun nuzul, nasikh mansukh, serta alat bantu lain yang menjadi syarat kelengkapan dalam penafsiran.
 Macam Tafsir bi ar Ra’yi
Para ahli tafsir membagi tafsir bi ar ra’yi menjadi dua, yakni:
a) Tafsir Mahmud (tafsir yang terpuji) yang juga sering disebut Tafsir Masyru’ yaitu tafsir yang memiliki ciri-ciri berikut:
- Sesuai dengan tujuan syari’ (Allah)
- Jauh atau terhindar dari kebodohan dan kesesatan
- Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa arab) yang tepat dengan mempraktekkan gaya bahasa (uslub)nya dalam memahami nash al-Qur’an
- Tidak mengabaikan kaidah-kaidah
b) Tafsir Madzmum (tafsir yang tercela) yang juga sering disebut Tafsir Bathil yaitu tafsir yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai
- Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan
- Menafsirkan al-Qur’an dengan semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa nafsu
- Mengabaikan aturan-aturan bahas Arab dan aturan syari’ah yang menyebabkan penafsirannya rusak
 Kelebihan dan Kelemahan
Kelebihan Tafsir bi ar Ra’yi, terletak pada kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh komponen ayat al-Qur’an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelemahan tafsir bi ar Ra’yi, terdapat kemungkinan penafsiran yang dipaksakan, subyektif dan pada hal-hal tertentu mungkin sulit dibedakan antara pendekatan ilmiah yang sesungguhnya dengan kecenderungan subyektifitas mufassirnya.
 Contoh Kitab dan Pengarangnya
1. Mafatihul Ghaib (Tafsir Ar Razi) karangan Muhammad bin Umar Al Husain Ar Razi (w.606 H)
2. Tafsir Jalalain karangan Jalaluddin Al Mahali dan Jalaluddin As Suyuthi (w. 864 & 911 H)
3. As Sirajul Munir (Tafsir Al Khatib) karangan Muhammad Asy Syarbini Al Khatib (w.977 H)

3) Tafsir bi Al Isyarah
 Pengertian
Kata al isyarah merupakan sinonim ad dalil yang berarti tanda, petunjuk, indikasi, isyarat, perintah, signal, panggilan, nasehat, dan saran. Sedangkan secara istilah yakni menakwilkan al-Qur’an dengan mengesampingkan makna lahiriyah karena ada isyarat tersembunyi yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang memiliki ilmu tasawwuf, tetapi besar kemungkinan pula memadukan antara makna isyarat yang bersifat rahasia dengan makna lahir sekaligus.


 Macam-Macam
Tafsir bi al-isyarah dibagi menjadi dua, yaitu tafsir bi al isyarah yang maqbul/masyru’ dan tafsir bi al isyarah yang mardud.
Tafsir bi al isyarah yang maqbul/masyru’ adalah yang memenuhi 5 syarat diantaranya:
1. Tidak meniadakan makna lahirnya ayat Al Karimah
2. Tidak menyatakan bahwa makna isyarah itu merupakan murad satu-satunya, tanpa ada makna lahir.
3. Hendaknya suatu ta’wil tidak terlalu jauh sehingga tidak sesuai dengan lafal
4. Tidak bertentangan dengan syara’ maupun akal
5. Tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia, dengan menyertakan dalil syar’i untuk memperkuat penafsirannya
Tafsir bi al isyarah yang mardud adalah tafsir yang menyalahi salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al isyari diatas.
 Kelebihan dan Kelemahan
Kelebihan, menunjukkan mufassirnya tergolong ke dalam kelompok orang-orang yang sempurna imannya dan bersih pengetahuannya.
Kelemahannya, lebih mengutamakan intuisi (firasat) sehingga mengakibatkan ada kesulitan untuk membedakan mana yang benar-benar ilham dari Allah dan mana yang merupakan kecenderungan hawa nafsu.
 Contoh Kitab dan Pengarangnya
1. Gharib Al-Qur’an wa Raghaib Al Furqan karangan An Naisaburi (w.728 H)
2. Tafsir wa Isyarat Al-Qur’an (Tafsir Ibn ‘Arabi) karangan Muhyiddin Ibn ‘Arabi (w.638 H)
3. Haqaiqut Tafsir (Tafsir As Silmi) karangan Abu Abdur Rahman As Silmi.

G. Metode Penafsiran Al Qur’an
Al Farmawi membagi metode penafsiran al-Qur’an menjadi empat macam metode, yaitu: tahliliy, ijmaliy, muqarran, dan mawdhu’iy.
1) Metode Tahliliy (Deskriptif/Analisis)
Metode tahlili disebut juga dengan metode tajzi’iy, merupakan salah satu metode tafsir yang menjelaskan dg menguraikan kandungan-kandungan (penafsiran) terhadap ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam mushaf. Secara umum metode ini dimulai dengan mengungkapkan arti kosa kata, kemudian diikuti dengan penjelasan arti secara global ayat-ayat tersebut, setelah itu diungkapkan dan diuraikan secara rinci, kesesuaian ayat-ayatnya, menjelaskan hubungan maksud ayat tersebut satu sama lain, dibahas pula asbabun nuzul, serta juga dikemukakan dalil, baik dari hadits Rasulullah saw, maupun pendapat para sahabat dan tabi’in.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemu’jizatan al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-terpisah.
2) Metode Ijmaliy (Global)
Secara bahasa al ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global. Sedangkan secara istilah yakni penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan al-Qur’an melalui pembahasan yang bersifat umum, tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas juga tidak dilakukan rinci.
Metode ini menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsirannya sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini praktis, sederhana, mudah dipahami, bebas dari penafsiran israiliyyat, akrab dengan bahasa al-Qur’an, serta pesan dalam al-Qur’an mudah ditangkap. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas hingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Selain itu tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.
3) Metode Muqarran (Komparasi/Perbandingan)
Yang dimaksud dengan metode komparasi (muqarran) adalah:
1) Membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus.
2) Membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan.
3) Membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.

Kelebihan metode muqarran diantaranya:
1) Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas
2) Menumbuhkan sikap toleran terhadap pendapat orang lain yang berbeda bahkan bertentangan
3) Mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat
4) Mufasir didorong untuk mengaji beberapa ayat dan hadits serta pendapat mufasir lain
Kelemahan metode ini antara lain:
1) Tidak dapat diberikan kepada penafsir pemula
2) Kurang dapat dijadikan jaminan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat
3) Lebih banyak menelusuri penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran baru
4) Metode Mawdhu’iy (Tematik/Topikal)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul.
Cara penafsiran dengan metode mawdhu’iy antara lain:
1) Menentukan topik
2) Menghimpun ayat
3) Menafsirkan ayat (asbabun nuzul, mengkaji ayat sampai tuntas)
4) Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut
5) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran atau pendapat mufasir
Kelebihan metode ini diantaranya dapat menjawab tantangan zaman, praktis dan sistematis, dinamis, serta membuat pemahaman menjadi utuh. Sedangkan kekurangannya antara lain memenggal ayat al-Qur’an dan membatasi pemahaman ayat.





Penutup
Kesimpulan;
Tafsir menurut bahasa: Al Idhah (menjelaskan), At Tibyan (menerangkan), Al Idzhar (menampakkan), At Tafshil (merinci). Tafsir berasal dari kata Al Fusru yang mempunyai arti Al Ibanah wa Al Kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu).
Tafsir menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Az Zarkasyi yakni memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Secara singkat sejarah tafsir sebenarnya sudah dimulai dari masa beliau rosulillah saw.karena perbedaan mengenai penjelasan suatu ayat sudah muncul dikalangan para sahabat sejak beliau masih hidup. Namun perbedaan tersebut langsung mendapatkan jawaban dari beliau. kemudian sepeninggal Yang turun temurun hingga para tabi’in


Daftar Pustaka

Ash Shabuni, Muhammad Ali. tanpa tahun. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Terjemahan oleh Muhammad Qodirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani, 1988.
Fauziyah, Lilis. Rangkuman Ilmu Tafsir Program Keagamaan. Malang: MAN 3 Malang, 2008.
Kusmana dan Syamsuri. Pengantar Kajian Al-Qur’an. Jakarta: PT. Pusaka Al Husna Baru, 2004.
Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al Qur’an. Bandung: Mizan, 2001.
“Tafsir Al-Qur’an”, Wikipedia (on line), (http:// id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_Al-Qur’an/, diakses 15 Desember 2009).












TAFSIR AL QUR’AN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah MSI


Dosen Pengampu : Tasmin, S.Ag.











Disusun oleh :

M. Mirwan Ali Zafi 933300509
Roisul Fathawiyana 933301009
Ahmad Qorib Yunus 903300209
Khoirul Anwar 903301309
M. Khoirul Anwar 903301209





Prodi Tafsir Hadits - Jurusan Ushuluddin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
2009






































Oleh Yudi maasrani

Pendahuluan.
Selain sebagai makhluk individual, manusia juga sebagai makhluk social. Sebagai makhluk social, manusia mau tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan di mana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan social yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan, amanah dan lain sebagainya. Lingkungan yang demikian itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya.
Berkenaan dengan itu, pada gilirannya perlu adanya pembinaan masyarakat yang berpendidikan, beriman dan bertakwa. Al-Qur’an sebagai sumber ajaran islam telah memberikan banyak perhatian terhadap pembinaan masyarakat. Khususnya bagaimana akan sebuah konsep amanah yang telah terkandung di dalam ayat-ayatNya.
Kata amanah (اَمَانَة), baik dalam bentuk mufrad maupun jamak disebutkan sebanyak enam kali di dalam Al-Quran. Kata amânah dalam bentuk mufrad ditemukan pada S. Al-Baqarah [2]: 283 dan S. Al-Ahzâb [33]: 72, sedangkan dalam bentuk jamak ditemukan pada S. An-Nisâ’ [4]: 58, S. Al-Anfâl [8]: 27, S. Al-Mu’minûn [23]: 8, dan S. Al-Ma‘ârij [70]: 32. Adapun yang akan dibahas penulis dalam tulisan ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir IV adalah Surat An-Nisa’ ayat 58 :
 •           ••     •      •     
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.



Pembahasan.
Kata amanah (اَمَانَة) adalah bentuk mashdar dari kata kerja amina - ya’manu - amnan - wa amânatan (اَمَانَةً وَ -اَمْنًا -يَأْمَنُ - اَمِنَ). Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf hamzah (حَمْزَة), mîm (مِيْم), dan nûn (نُوْن), yang bermakna pokok “aman”, “tenteram”, “tenang”, dan “hilangnya rasa takut”. Pakar bahasa, Ibrahim Mustafa menjelaskan bahwa amânah mengandung arti “pelunasan” dan “titipan”. Dalam bahasa Indonesia, amânah berarti “yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang”, “keamanan atau ketenteraman”, dan “dapat (boleh) dipercaya atau setia”.
Rasyid Ridha menegaskan bahwa al-amânât (اَلاَْمَانَات) di sini digunakan sebagai ism maf‘ûl (اِسْم مَفْعُوْل), yakni kata sifat selaku obyek dengan pengertian “segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman”. Menurut Ath-Thabari, ayat ini ditujukan kepada para pemimpin (penguasa) agar menunaikan hak-hak umat Islam, seperti penyelesaian perkara rakyat yang diserahkan kepada mereka untuk ditangani dengan baik dan adil.
Kata Amanah yang terdapat pada ayat tersebut adalah sesuatu yang harus dipelihara dan disampaikan kepada pemiliknya. Orang yang melakukan perbuatan tersebut disebut sebagai orang yang aminan, wafiyan yaitu orang yang dapat dipercaya dan menunaikan tugas dengan sempurna : dan orang yang tidak dapat memelihara amanat disebut sebagai Khainan orang yang berkhianat. Adapun kata adil dalam ayat tersebut adalah menyampaikan kebenaran kepada pemiliknya.
Pada urainnya lebih lanjut al – Maraghi membagi amanat kepada tiga bagian. Pertama amanat seorang makhluk pada Tuhannya; yaitu segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia yang harus dijaganya, yaitu dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mengamalkan segala yang disyari’atkan dengan segenap jiwa dan raganya dalam bidang yang mendatangkan manfaat dan mendekatkan diri kepada-Nya. Di dalam hadist diinyatakan bahwa orang –orang yang khianat adalah penghianat Allah.
Kedua, amanat seorang hamba pada manusia yang lainya, yaitu orang yang diserahi sesuatu yang harus diberikan kepada pemiliknya tanpa mengambil sedikitpun, menjaga rahasia dan sebagainya yang menjadi milik orang lain, kerabat dan manusia pada umumnya. Berkenaan dengan ini, para ulama ada pula yang memasuki ke dalam kategori amanat ini adalah keadilan seorang pemimpin terhadap rakyatnya, dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam dengan cara memberi petunjuk kepada mereka untuk memiliki akidah yang kuat, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia dan akhirat, dengan cara menyelenggarakan kegiatan pendidikan yang baik, usaha ekonomi yang halal, serta kegiatan dakwah dan penerangan hokum yang dapat memperkuat keimananya serta menjauhkannya dari perbuatan buruk dan dosa serta mendorongnya agar berbuat baik. Dalam hal ini termasuk pula sikap adil seorang suami pada istrinya.
Ketiga, amanat terhadap diri sendiri, yaitu dengan cara tidak melakukan perbuatan bagi dirinya kecuali perbuatan baik dan bermanfaat bagi kehidupan agama dan dunia, dan tidak pula mengutamakan perbuatan yang membawa bencana bagi kehidupan akhirat, berhati-hati dan menjaga diri terhadap sesuatu yang menyebabkan timbulnya penyakit jiwa dan penyakit fisik berdasarkan petunjuk para dokter. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu kesehatan dan terhadap waktu-waktu dimana penyakit tersebut menyebar.

Kesimpulan.
al-amânât dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, melainkan mencakup semua manusia, bahkan seluruh makhluk. Namun, seiring dengan amanah yang dibebankan kepada para penguasa, juga ditekankan kewajiban taat rakyat terhadap mereka. Pendapat lain dikemukakan oleh Al-Maraghi, yang mengklasifikasi amanah atas: (1) tanggung jawab manusia kepada Tuhan; (2) tanggung jawab manusia kepada sesamanya; dan (3) tanggung jawab manusia kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, Tanthawi Jauhari ketika menafsirkan ayat di atas, merumuskan cakupan makna kata al-amânât (اَلاَْمَانَات) yang cukup luas, yaitu segala yang dipercayakan orang berupa perkataan, perbuatan, harta, dan pengetahuan; Atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Jadi, kalau Al-Maraghi melihat term amanah dari sudut pandang “kepada siapa amanah harus dipertanggungjawabkan”, maka Tanthawi merumuskan lebih abstrak lagi, karena tidak saja berdasarkan pertanggungjawaban tetapi juga kegunaan yang terkandung dalam amanah itu.

Pustaka.
Nata, Abuddin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan-Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Shihab, Quraish, Amanah-Jujur dapat dipercaya, http:www.psq.or.id/ensiklopedia.
http://www.dakwatuna.com/2007/amanah/,









BAB I
PENDAHULUAN
Masalah penegakan hak-hak asasi manusia adalah masalah besar yang selalu dihadapi oleh mnusia sebagi penghuni dunia ini. Ada ahli yang mengatakan bahwa hak asasi manusia itu termasuk kebutuhan mendasar yang tidak kelihatan. Jadi suatu kebutuhan yang sejajar dengan sandang pangan, pemukiman dan kesehatan.
Kalau kita ketahui bahwa dunia ini masih ada penindasan, kezaliman, kekerasan dan lain sebagainya, yang di lakukan manusia satu terhadap manusia lain.
Melihat kenyataan ini penulis tergugah unuk menghimbau bahwa melestarikan dan menegakan hak-hak asasi manusia ini, kita harus kembali kepada Al-quran yaitu,konsepsi kemanusiaan yang dapat menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia di dunia dan akhirat.















BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati oleh negara dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Tanpa adanya hak ini berati berkuranglah harkatnya sebagai mnusia yang wajar. Dari pengertian diatas, maka hak asasi mengandung dua makna, yaitu:
• Pertama, merupakan hak alamiah yang melekat dalam diri manusia sejak manusia dilahirkan kedunia.
• Kedua, merupakan instrument untuk menjaga harkat martabat manusia sesuai dengan kodart kemnusiaannya yang luhur.

a. Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur’an
Manusia dalam hidupnya selalu menginginkan kebahagiaan dan kedamaian.Namun demikian manusia selalu menemui ritangan untuk mencapai maksud itu. Disebabkan pelanggaran atas hak-hak dan kebebasan asasinya oleh manusia yang lain.walaupun sudah bermacam-macam konsepsi yang dirumuskan untuk menjamin kebebasan dasar itu.
Untuk mencapai kebahagiaan dan kedamaiyan itu manusia harus kembali kepada konsepsi Al-Qur’an.

Diantara konsepsi al-Qur’an tentang hak-hak asasi manusia adalah:
1. Hak Hidup, Kemerdekaan Dan Keamanan Pribadi
Hak hidup adalah salah satu dari hak-hak alami institusional yang tidak memerlukan persetujuan sosial atau semacamnya. Karena kehidupan merupakan karunia dari Allah SWT kepada setiap manusi.
Jiwa manusia adalah suci dan tidak boleh disakiti dan segala usahaharus dilakukan untuk melindunginya, terutama tidak seorang pun diperbolehkan menyakiti seseorang kecuali berdasarkan hukum seperti hukum qishash pada tindak pidana pembunuhan. Pelaksanaan hukum qishash ini hanya diberikan kepada kekuasaan negara (pemerintahan).
Karena sangat pentingnya arti hidup ini bagi manusia Allah memandang bahwa melenyapkan hidup seseorang tanpa hak sama artinya melenyapkan semua manusia, karena orang itu adalah anggota masyarakat. Sebaliknya menyelamatkan kehidupan seorang manusia berarti telah menyelamatkan semua kehidupan manusia. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firmannya:..
           ••      •• 
Artinya: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia”.(Q.S.Al-Maidah:32)

2. Hak Kebebasan Beragama
Kebebasan manusia untuk memilih suatu agama yang dia yakini berdasar pada pertimbangan akal nurani. Begitu juga islam yang menjujung tinggi perbedaan agama, karena agama merupakan pandangan hidup manusia. Ide ini tercantum dalam al qur’an surat al baqoroh ayat 256.
      ••                     
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

3. Hak Kebebasan Berpikir dan Berpendapat
Hak ini adalah dimana manusia berpendapat atau mengekpresikan diri dalam kehidupan masyarakat. Diaman kebebasan ini dapat diungkapkan melalui media verbal (lisan), media cetak,media gerak. Demikian juga islam juga menghargai kebebasan berpikir dan berpendapat. Sesuai dalam al qur’an surat shad ayat 29.
         
Artinya,”Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”

4. Hak Bekerja
Hak lain yang juga diatur dalam islam adalah hak bekerja. Ini sesuai dengan hadits rosululloh. Yang artinya,”berikanlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya, dan beritahukanlah upahnya sewaktu dia bekerja HR Al Bayhaqy”
5. Hak politik
Dalam islam juga menjamin hak politik seperti hak memilih kepala negara, hak musyawarah dan yang lainnya. Sesuai yang diriwayatkan Abdurrahman bahwa Nabi pernah bersabda “hai abdurahman ibn samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Jika engkau diberinya karena permintaan, engkau akan diberatkannya. Dan jika engkau diberinya tanpa meminta, maka engkau akan ditolong untuknya”























DAFTAR PUSTAKA

• Lopa Baharudin, 1999 Cet.2. Al-Qur’an Dan Hak-Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa).
• Dalizar, 1987. Konsepsi Al-Qur’an Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta : Pustaka Alhusna)
• Http://Cahpucuk.Multiply.Com/Journal/Item/1
• Http://Www.Ydsf.Org/Blog/Untaian-Hikmah/Maksud-Dan-Tujuan-Alquran-Dalam-Kehidupan-Manusia










HAK ASASI MANUSIA DALAM
Al-QUR’AN

Makalah ini susun untuk memenuhi
salah satu tugas Mata Kuliah ”Tafsir”

Dosen Pengampu :
Moh. Zainal Arifin, M.Hi










Disusun Oleh :
AHMAD QORIB YUNUS 9033 002 09

Prodi Tafsir Hadits – Jurusan Ushuluddin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2010

BAB I
A. PENADULUAN
Dahulu kampanye dianggap sebagai seuatu ajang manuver politik untuk menarik sebanyak munkin pemilih dalam pemilihan umum untuk meraih kekuasan . Segala cara dipakai dengan memberikan janji-janji muluk yang acap kali tidak masuk akal . Kampanye kerap kali sekedar basa basi politik belaka. Sering kali mereka melupakan Janji-Janji mereka setelah kekuasan diperoleh. Rakyat sendiri bersikap apatis dan masa bodoh , yang pentig aman . Ketidak percayaan mereka pada partai politik semakin kental.Hal ini terlihat sangat gamblang terjadi di Negara-negara berkebang . meski di Negara majupun tejadi seacara sembunyi-sembunyi.
Orang semakin tidak percaya pda partai politik. Sehingga sebagian kalangan lebih memilih Golput. Keadaan telah berubah. Hadirnya teknologi komunikasi membuat masyarakat menjadi kritis dan terbuka. Mereka ahirnya menganalis dan membuat perbandingan-perbandingan akan sesuatu yang terjadi di Negara lain dengan sesuatu yang terjadi di Negara mereka.Semakin kritisnya masyarakat harus disimak dan diperhatikan oleh partai politik. Jika mereka ingin terus bertahan.
Pembenahan harus segera mereka lakukan disegala lini, diantaranya pola kampanye yang sebelumnya hanya sebagai proses jangka pendek, yang tujuannya hanya sebatas memperoleh kemenangan pemilu. Mereka harus memperbaikinya menjadi proses kampanye menuju jangka panjang. Mereka harus menanamkan imeg partai agar dianggap baik dan diterima masyarakat ,yang nantinya akan sagat berpengaruh untuk priode kedepan. Segala ucapan dan tindakan harus dilakukan secara hati-hati dalam menyikapi kondisi masyarakat yang kritis.
Dalam makalah ini penulis sedikit menguraikan tentang pemaknaan tentang kampanye serta menjelaskan tentang strategi dan pesan-pesan dalam berkampanye agar kampanye bukan hanya menjadi basa-basi politik belaka, melainkan sbagai janji yang harus di laksanakan dan di upayakan oleh para elit politik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Kampanye
Proses interaksi intnsif dari patai politik kepada publik dalam kurun waktu tertentu menjelang pemilu, dalam definisi ini kampanye poltik adalah priode yang di berikan panitia pemilu kepada semua konstentan baik partai poltik maupun perorangan untuk memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka dalam pencoblosan. Kampanye dalam kaitan ini dipandang sebagai aktifitas pengumpulan massa, parade politik, orasi politik, pemasangan atribut partai dan pengiklanan partai. Kampanye seperti ini diakhiri dengan pemunggutan suara untuk menentukan siapa yang akan mendapat dukungan suara terbanyak dalam pemenang pemilu. Kampanye ini menimbulkan biaya yang sangat besar dan ketidak pastian hasil.
Kampanye menurut id.wikipedia.org. adalah sebuah tindakan politik yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan. Usaha kampanye bisa dilakukan oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir. Kampanye biasa juga dilakukan guna mempengaruhi, penghambatan, pembelokan pecapaian atau untuk mengubah kebijakan dalam suatu institusi
Kampanye politik adalah sebuah upaya pencitraan, baik oleh partai politik, calon legislatif maupun calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Seperti halnya sebuah iklan produk, maka kampanye politik juga menawarkan sesuatu yang bisa dijual pada diri kandidat atau parpol untuk dibeli oleh para calon pemilih.
.Kampanye pada prinsipnya merupakan suatu proses kegiatan komunikasi individu atau kelompok yang dilakukan secara terlembaga dan bertujuan untuk menciptakan suatu efek atau dampak tertentu. Rogers dan Storey (1987) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan untuk menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu” (Venus, 2004:7 )
Beberapa ahli komunikasi mengakui bahwa definisi yang diberikan Rogers dan Storey adalah yang paling popular dan dapat diterima dikalangan ilmuwan komunikasi (Grossberg, 1998; Snyder, 2002; Klingemann & Rommele, 2002). Hal ini didasarkan kepada dua alasan. Pertama, definisi tersebut secara tegas menyatakan bahwa kampanye merupakan wujud tindakan komunikasi, dan alasan kedua adalah bahwa definisi tersebut dapat mencakup keseluruhan proses dan fenomena praktik kampanye yang terjadi dilapangan
Definisi Rogersda Storey juga umumnya dirujuk oleh berbagai ahli dari disiplin ilmu yang berbeda seperti ilmu politik dan kesehatan masyarakat.
Merujuk pada definisi-definisi diatas, maka kita dapat melihat bahwa dalam setiap aktivitas kampanye komunikasi setidaknya mengandung empat hal, yaitu tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, jumlah khalayak sasaran yang besar, dipusatkan dalam kurun waktu tertentu, Selain empat pokok ciri diatas, kmpanye juga memiliki cirri atau karakteristik yang lainnya, yaitu sumber yang jelas, yang menjadi penggagas, perancang, penyampai sekaligus penanggung jawab suatu produk kampanye (campaign makers), sehingga setiap individu yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi dan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir

B. Redefinisi kampanye
Pengertian kampanye politik sebatas priode tertentu menjelang pemilui mengandung beberapa kelemahan. Pertama, interaksi politik antara partai politik seolah hanya terjadi selama priode tersebut . Padahal , interaksi politik harus dilakukan terus menerus dan tidak dibatatsi semata-mata oleh priode tertentu .Interaksi politik adalah aktifitas yang permanen dan secara berkesinambungan harus dilakuan oleh partai politik..Anggapan ini juga membuat interaksi politik diluar kampnye menjadi tidak begitu penting . Semua orang dan pihak mengonsentrasikan diri mengalokasikan semua sumber daya untuk priode menjelang pemilu.
Kedua, kampanye politik adalah proses komunikasi politik dialogis antara partai politik dan masyarakat. Tujuan komunikasi politik adalah untuk menciptakan kesamaan pemahaman dan presepsi antara partai dan masyarakat. kalau kampanye politik hanya sebatas kampanye pemilu , dikhawatikan tidak akan tercipta kesamaan pemahaman politk diantara kedua belah pihak. pesan dan image politik di pemilu yang satu akan berbeda dengan pemilu selanjutnya.
Ketiga fokus pada priode tertentu menjelang pemilu membuat arti penting public di mata partai menjadi sekedar pemberi suara untuk memenangkan pemilu. Ketika priode kampanye usai dan muncul pemenang, public tidak dibutuhkan lagi. Pesan dan janji politik tenggelam dalam hiruk pikuk pembagian kekuasaan di tubuh eksekutif atau legislative.
Memposisikan kampanye politik sebatas kampanye pemilu membuat edukasi masyarakat menjadi tidak komprehensif. masyarakat hanya diposisikan sebagai konsumen yang pasif, dan menunggu dimobilisasi ke bilik-bilik suara.
Harus dilakuakan redefinisi atas pengertian kampanye. Untuk itu harus dilihat adanya dua jenis kampanye. Pertama adalah kampanye menjelang pemilu. Kampanye short term ini digunakan sebagai kompetisi jangka pendek menjelang pemilu untuk mengingatkan, membentuk dan mengarahkan opini public dalam waktu yang singkat.
Kedua adalah kampanye yang besifat permanen dan berlaku untuk jangka panjang. Konsekuwensuinya, partai politik perlu memikirkan terus menerus mengevaluasi setiap aktifits mereka, karena mereka terus menerrus diamati dan dianalisis oleh public.
Pembetukan image positif melalui semua aktifitas pelayanan public dalam jangka panjang akan tertanam dalam benak masyarakat. Partai yang sekedar memperhatikan public pada priode pemilu sama daja dengan melakukan ekploitasi public.
Menurut lock dan haris {1996] kampanye politik terkait erat dengan pembentukan image politik. Dalam kampanye politik terdapat hubungan yang akan dibangun, yaitu internal dan eksternal.Hubungan internal adalah satu proses antara anggota-anggota partai dengan pendukung untuk memperkuat ikatan ideologis dan identitas meraka. Semantara hubungan eksternal dilakukan untuk mengkomunikasikan image yang yang akan dibangun keapada pihak luar partai, termasuk media massa dan masyarakat secara luas.
Kampanye pemilu adalah bagian kecil dari kampanye politik. Meskipun satu partai atau kandidat tidak berada dalam dalam priode kampanye pemilu. Setiap ucapan dan tindakannya dapat dikategorikan sebagai kampanye politik. Artinya kampanye pemilu dan kampanye politik saling ,melengkapi . Bukannya harus memilih salah satu. Kampanye pemilu memiliki beberapa keterbatasan seperti yang telah disebutkan di atas. Disisi lain kampanye pemilu sangat dibutuhkan untuk menyegarkan dan mengingatkan kembali reputasi dan image politik yang telah dibangun.
Kampanye politik bersifat jangka panjang membutuhkan penegasan dan penguatan ulang melalui kampanye pemilu. Mobilisasi massa untuk masuk ketempat pencoblosan juga sangat penting. Namun harus didukung kampanye politik yang terus menerus dilakukan.
Image positif yang dimiliki kandidat dapat membantu mayakinkan pemilih bahwa janji janji serta harapan poilitik yang diberikan benar-benar dimaksudkan untuk perbaikan bangsa dan Negara, bukan untuk kepentingan politik praktis belaka,
Sementera image negtif akan menyulitkan kandidat bersangkutan untuk meyakinkan pemilih bahwa program kerja yang disampaikanya benar-benar demi perbaikan kondisi masyarakat.


C. Efek kampanye

Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari beberapa poin berbicara tentang isu-isu kebijakan. Poin2 ini akan dirangkum dari ide utama dari kampanye dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada pemilih.
Studi-studi tentang efek kampanye terhadap pilihan seseorang menghasilkan kesimpulan yang beragam. Di satu sisi, kampanye dipandang memiliki pengaruh yang besar.Di sini,
kampanye tidak hanya sekadar berpengaruh tetapi juga mampu mengubah pilihan seseorang. Di sisi yang lain, pengaruh kampanye dianggap. Kesimpulan ini didasari oleh argumentasi bahwa jauh hari sebelum diadakan pemilihan, di bawah alam sadar para pemilih sudah terbangun pilihan-pilihannya. Fungsi kampanye, dalam situasi seperti ini, tidak lebih untuk memperkuatpilihan-pilihan yang mulai terbentukitu.
Efek kampanye sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari realitas seberapa besar “floating voters (FV)” atau “swing voters (SV)”yang ada. Semakin kecil besaran FV atau SV semakin kecil juga ruang bagi kampanye untuk memengaruhi pemilih. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa untuk mengubah pemilih yang tidak terkategorikan sebagai FV dan SV itu tidak mudah dilakukan. Sebaliknya,ketika besaran FV atau SV itu cukup berarti, pengaruh kampanye terhadap pilihan pemilih memiliki potensi yang lebih besar juga.
Musim kampanye, dalam pemilih demikian, dipandang sebagai “ruang pameran” yang menawarkan barang-barang yang akan dibeli. Para pemilih akan membeli setelah melakukan penilaian terhadap “barang-barang” yang ditawarkan oleh parpol itu. Di Indonesia, besaran FV atau SV cukup besar, sekitar 30%-an. Artinya, pengaruh kampanye seharusnya juga tetap besar. Hanya saja, pengaruh kampanye itu bisa lebih kecil karena pola perilaku memilih di Indonesia dalam beberapa hal berbeda dengan perilaku pemilih di negara-negara maju .

D. Strategi Kampanye
Bagaimana agar kampanye berdaya dan berhasil guna alias efektif dan efisien? Kampanye lazimnya merupakan kerja tim. Karenanya, kampanye memerlukan penanganan dan manajer khusus, mulai penggalangan dari dana, penentuan waktu dan tempat, rekrutmen tenaga ahli untuk menyusun naskah pidato kampanye (script writer), hingga pengamanan selama pelaksanaan. Ringkasnya, tujuan manajemen kampanye adalah terorganisasi dengan baik sehingga hasilnya optimal.
Agenda setting memiliki potensi untuk membangun masalah-masalah bagi publik. Seperti dikatakan McComb dan Shaw, media menentukan isu-isu penting, yang berarti media mengatur ‘agenda’ dari kampanye
Dalam sebuah kampanye pemilihan di Denmark, penelitian menunjukkan adanya tiga pengaruh agenda. Pertama, sejauh mana media mencerminkan agenda publik atau yang disebut dengan representasi. Dalam agenda representasional, publik yang mempengaruhi media. Kedua, pemeliharaan agenda yang sama oleh publik selama waktu itu yang disebut persistensi. Dan ketiga, terjadi apabila agenda media mempengaruhi agenda publik, yang disebut persuasi. Jenis pengaruh yang ketiga ini media mempengaruhi public adalah tepat seperti apa yang diramalkan oleh teori agenda setting klasik.
Meski dikatakan McCombs dan Shaw bahwa editor, staf pemberitaan dan penyiar memainkan peranan penting dalam mempertajam realitas politik, memilihkan what to think about kepada publik, namun berita politik merupakan gabungan kreasi antara jurnalis dan komunikator politik lain—politikus, profesional dan juru bicara—yang mempromosikannya. Sehingga, hal tersebut memungkinkan persuader ikut ‘bermain’ dalam agenda setting.
Dalam konteks persuasi politik, kaitan agenda setting di sini adalah dengan propaganda, periklanan dan retorika. Temua-temuan riset menyebutkan, untuk bisa mempengaruhi agenda setting, pesan akan dilihat berdasarkan isi dan struktur pesan.
Persuasi modern menggunakan semua saluran komunikasi modern. Imbauan kepada massa dilakukan baik melalui hubungan tatap muka ataupun melalui media antara, yaitu media elektronik, media cetak dan poster.
Melihat perkembangan terkini dari pemilihan presiden di Amerika Serikat, selain mengandalkan iklan televisi dan kaset video yang kirim langsung ke pemilih, persuasi kini juga menggunakan teknologi informasi (internet)
Pada hakikatnya strategi kampanye suara terbanyak, memberi peluang kepada politisi dan caleg partai untuk menggelar reformasi kampanye pemilu. Sebab secara universal kampanye yang bermaksud untuk memperoleh setidaknya mayoritas relatif jumlah suara pemilih itu, diupayakan sejauh mungkin memenuhi kriteria demokrasi.
Calon memperlakukan pemilih sebagai pihak yang harus dilayani, bukan lagi sebagai himpunan manusia yang punya hak pilih, untuk dihimpun dan diberikan informasi demi kemenangannya. Strategi itu memerlukan rangkaian taktik, mulai dari pemetaan wilayah dan penduduk dapil, dalam rangka memahami permasalahan pemilih dari kelompok ke kelompok,mulai dari keluarga sampai komunitas.
Dengan begitu, kampanye akan berisi berbagai tawaran solusi masalah, sesuai dengan karakteristik alam dan penduduk serta keseharian kehidupan pemilih.Kampanye membumi, dan terlaksana, sehingga mudah direspons oleh pemilih secara positif. Mengkomunikasikan substansi kampenye yang relevan, tentulah sejalan dengan mekanisme demokrasi yaitu persuasi. Tekniknya adalah tatap muka(head to head) dan pertemuan kelompok kecil,yang diproses dengan penjelasan dan diskusi atau debat publik,Penggunaan pemberitaan dan iklan di media massa (koran, majalah, radio, TV) tentu saja bergu na.





BAB III
KESIMPULAN

Semakin kritisnya masyarakat harus disimak dan diperhatikan oleh partai politik. Jika mereka ingin terus bertahan.Pembenahan harus segera mereka lakukan disegala lini.
Dari berbagai definisi-definisi, maka dpat diambil kesimpulan aktivitas kampanye komunikasi setidaknya mengandung empat hal, yaitu tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu, jumlah khalayak sasaran yang besar, dipusatkan dalam kurun waktu tertentu.
Selain empat pokok ciri diatas, kmpanye juga memiliki cirri atau karakteristik yang lainnya, yaitu sumber yang jelas, yang menjadi penggagas, perancang, penyampai sekaligus penanggung jawab suatu produk kampanye sehingga setiap individu yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi dan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir.
Harus dilakuakan redefinisi atas pengertian kampanye. Untuk itu harus dilihat adanya dua jenis kampanye. Pertama adalah kampanye menjelang pemilu. Kampanye short term ini digunakan sebagai kompetisi jangka pendek menjelang pemilu untuk mengingatkan, membentuk dan mengarahkan opini public dalam waktu yang singkat. Kedua adalah kampanye yang besifat permanen dan berlaku untuk jangka panjang. Konsekuwensuinya, partai politik perlu memikirkan terus menerus mengevaluasi setiap aktifits mereka, karena mereka terus menerrus diamati dan dianalisis oleh public.
Studi-studi tentang efek kampanye terhadap pilihan seseorang menghasilkan kesimpulan yang beragam. Di satu sisi, kampanye dipandang memiliki pengaruh yang besar. Kampanye lazimnya merupakan kerja tim. Karenanya, kampanye memerlukan penanganan dan manajer khusus, mulai penggalangan dari dana, penentuan waktu dan tempat, rekrutmen tenaga ahli untuk menyusun naskah pidato kampanye (script writer), hingga pengamanan selama pelaksanaan. Ringkasnya, tujuan manajemen kampanye adalah terorganisasi dengan baik sehingga hasilnya optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Arbi, Sanit “ artikel/kampanye-da,n-demokras” http://vgsiahaya.wordpress.com/ i/, diakses 04 oktober 2010
Bagus , Sihnu” pengertian-kampanye “ http://all-about-theory.blogspot.com/2010/03/.html 06 September 2008,diakses 04 oktober 2010, diakses 04 oktober 2010
Firmanzah, ” Marketing politik{ Jakarta : Yayasaan obor Indonesia, 2007, }
“ definisi-kampanye “4,March,2009.http://seputarpialaeropa.co.cc/uncategorized/.html, diakses 04 oktober 2010
"Kampanye politik" Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Kampanye_politik#cite_note-0 . diakses 04 oktober 2010
marijan , kacung “ Implikasikampanye tebuka” 19 maret 2009, diakses 04 oktober 2010
“ manajemen-kampanye “, http://www.romeltea.com/2010/01/20/ , diakses 04 oktober 2010
Sutadi, Heru “ strategi-kampanye-persuasi-politik “,http://hsutadi.blogspot.com/2008/09/ dan.html, diakses 04 oktober 2010














Kampanye politik

Makalah ini Di susun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah ;
Ilmu Politik

Dosen Pengampu :
M. Muwaffiqillqh, M.Fil.












Disusun oleh :

Ahmad Wahidin; 903300309


FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN KEDIRI 2010

Selasa, 05 Oktober 2010

KOnsep Qaulan Ma`rufan dalam alquran

KOnsep Qaulan Ma`rufan dalam alquran
Ahmad Wahidin

BAB I

PENDAHULUAN


Saat ini bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan masyarakat Islam tidak lagi menunjukan ciri dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi etika dan kelemah lembutan. Budaya dan adat ketimuran lebih tergatikan dengan budaya-budaya barat.
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia. Allah mengajarkan manusia pandai berbicara .”Al bayan dan al-qaul”. Al-Qur`an diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang membutuhkan komunikasi , maka dari itu , alQur`an memberikan kontribusi sebagai tuntutan dalam berkomunikasi.
Sayangnya dalam kenyataanya masih banyak manusia yang dalam berkomunikasi tanpa mempertimbangkan prisip-prinsip dalam komunikasi sebagaimana disarankan al-Qur`an. Jika prinsip dasar berkomunikasi dalam al-Qur`an dilaksanakan secara konsisten , maka hhubungan antara manusia akan mengalami ketentraman. Hal ini senada dengan yang diisyaratkat Rasullah dalam sabdanya” Muslim yang baik adalah jika muslim lain merasa tentram dari perkataan da perbuatannya “. Ucapan dalam komunikasi yang digambarkan dalalam al-Qur`an setidaknya merupakan salah satu tujuan dalam pendidikan untuk menuju manusia yang berkepribadian luhur dan mulia.Dari salah satu prinsip berkomunikasi dalam alQuran itu diantaranya adalah { •} perkataan yang baik. Dalam pembhasanya penulis akan berusaha membahasnya dengan rumusan masalah sebagai berikut ;
1. Apakah yang dimaksud dengan { •}
2. penjelasan al Quran tentang { •} } dantafsirnya
3. Hadis Tentang berkata baik

4. Kesimpulan



BAB II
PEBAHASAN
A. Pengertian
Kata ma`ruf adalah isim maf`ul, kata kerjanya adalah `arafa yang mengandung arti mengetahui ,mengenal atau mengakui ,melihat dengan tajam atau mengenali perbedaan. Kata ma`ruf kemudin diartikan sebagai sesuatu yang diketahui,yang dikenal atau yang diakui. Adakalanya juga diartikan sebagai menurut nalar,sepantasnya dan secukupnya. Al-Raghib al-Ashfahani mengartikan sebagai{{  • } “apa yang dianggap baik oleh akal dan syari`at.
Secara bahasa,arti kata ma`ruf adalah baikdan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan masyarakat lingkungan penutur. Menurut Amir, arti Qaulan ma`rufan sebagai perkatan yang baik dan pantas. Baik dengan norma dan nilai, sedangkan pantas sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkanya. .Dengan kata lain menurut beberapa ahli baik ahli tafsir seperti Hamka dan Al-Buruswi maupun pendapat ahli lainnya bahwa qaulan ma’rufa mengandung arti perkataan yang baik, yaitu perkataan yang sopan, halus, indah, benar, penuh penghargaan, dan menyenangkan, serta sesuai dengan kaidah dan hukum dan logika.
Secara kontekstual,ayat al-Qur`an yang megungkap kalimat tersebut dalam konteks peminangan pemberin wasiat dan waris. Karena itu Qaulan mma`rufan mengandung arti ucapan yang halus sebagaimana ucapan yang disukai oleh perempuan dan anak-anak; pantas unttuk diucapkan oleh pembicara maupun untuk orang yang diajak bicara. Al-Burusi turut menjelaskan bahwa ungkapan qaulan ma`ufan adalh ungkan an bahasa yan halus seperti ucapan laki-laki kepada perempuan yang akan dipersuntingnya..
Dengan demikan dapat disimpulkan bahwa qaulan ma`rufan mengandung arti perkataan yang baik, yaitu perkataan yang sopan, halus indah, dan menyengakan. .Kata ma`ruf dalam al-Qur`an terbilanng sebanyak lima kali. Masing-masing dalam Q.s. Al Baqarah dan263, Q.s.al Nisa/4:5 dan8,. Q.s Muhammad/47;21. Secara harfiah ungkapan al baqarah tersebut mengandung arti “ perkataan yang baik” .


                          •            •         •    
                           

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

               • 
“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”{Q.s AN.Nisa ;5 }

B. Tafsir Qqulqn Ma`rufan
Di dalam Tafsir Ibnu Katsir diterangkan bahwa Allah melarang dalam firmanNya ayat 5 menyerahkan harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, yaitu orang-orang yang belum baligh, orang gila dan orang dewasa yang tidak dapat mengatur harta bendanya. Mereka itu seharusnya tidak diberi kesempatan untuk mengatur harta bendanya karena harta tersebut merupakan sandaran bagi manusia. Dan walaupun kepada mereka itu dilarang memberi harta, namun wajib bagi sang waris menguasai harta milik mereka dan diwajibkan baginya memberi mereka pakaian dan belanja dari hasil harta mereka itu dengan disertai ucapan dan kata-kata yang baik. (Ibnu Katsir:307)
Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan mengenai قولا معروفا yaitu melembutkan kata-kata dan menepati janji. Dan beberapa ulama’ berselisih mengenai kata . Sebagian mengartikan: serulah mereka, semoga Allah melimpahkan keberkahan bagimu dan menjagamu. Dan ada sebagian yang lain mengartikan yaitu berilah janji dengan janji yang baik. (MustafaAl-Maraghi:33) Dalam Tafsir Adz-Dzikro, ditafsirkan; maksudnya: harta orang yang di bawah kekuasaanmu. Bila harta mereka diserahkan kepadanya, padahal mereka belum sempurna akal, jika harta itu disiasiakannya, maka kewajiban si wali memberikan nafkahnya dengan hartanya sendiri. Jika harta yang disia-siakannya itu (sekalipun hartanya sendiri) berarti harta si wali sendiri dialah yang bertanggung jawab.
Dalam kitab fathu al-Qadir dijelaskan bahwa makna “قَوْلًا مَعْرُوفًا” adalah perkataan yang indah dan tidak mengandung unsur sindiran yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Sumber lain menyebutkan bahwa “قَوْلًا مَعْرُوفًا” adalah perkataan yang baik yang ditujukan kepada orang-orang yang lemah dalam hal finansial yaitu anak yatim dan orang miskin .
  •           
“ Ta'at dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). apabila Telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). tetapi Jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka”[Q.s mumammad ayat 21 }

C. Hadiss Tentang berkata baik
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

((مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ))
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka ucapkanlah (perkataan) yang baik atau diam!" (HR. Al-Bukhariy no.6018 dan Muslim no.47)
sesungguhnya orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentulah dia merasa takut terhadap ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Dan yang lebih penting dari itu adalah menjaga segala anggota badannya karena kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat atas apa yang telah dilakukannya.
BAB III
PENUTUP
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia sejak awal penciptaannya al-Qur`an untuk sarana berkomunikasi. Al-Qur`an diturunkan kepada manusia yang memiliki sifat sebagai makhluk yang membutuhkan komunikasi , maka dari itu alQur`an memberikan kontribusi sebagai tuntutan dalam berkomunikasi. Salah satu prinsip berkomunikasi dalam alQuran itu diantaranya adalah {•}perkataan yang baik.Secara bahasa,arti kata ma`ruf adalah baik dan diterima oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Ucapan yang baik adalah ucapan yang diterima sebagai sesuatu yang baik dalam pandangan masyarakat lingkungan penutur. Dalam artian Qaulan ma`rufan sebagai perkatan yang baik dan pantas. Baik dengan norma dan nilai, sedanangkan pantas sesuai dengan latar belakang dan status orang yang mengucapkanya
Dengan demikan dsapat disimpulka bahwa qaulan ma`rufan mengandung arti perkataan yang baik, yaitu perkataan yang sopan, halus indah, dan menyengakan. Kata ma`ruf dalam al-Qur`an terilanng sebanyk 5 kali. Masing-masingdalam Q.s. dan 263, Q.s. al Nisa/4:5 dan 8, Q.s Muhammad/47;21. Secar harfiah ungkapan al baqarah tersebut mengandung arti “ perkataan yang baik”.





DAFTAR PUSTAKA

1. Abd. Rahman, “Komunikasi Ilahiyah dan insaniayah” { Malang : U IN Malang press. } hal;100-101
2. AL Qur`an terjenahan
3. http://imamu.staff.uii.ac.id/konsep-komunikasi-dalam-al-qur%E2%80%99a/,
4. http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/ucapan-yang-baik.html,
5. http://naifu.wordpress.com/2010/08/12/profesionalisme-dalam-perspektif-al-qur%E2%80%99an/30 Desember 2009,
6. Nurdin, Ali, Quranik society,tjr.Sayid dadi,Arum Titisari {Jakarta : Aksara Pertama.2006}- hal.1;65
7. Rahman, Abdul Komunikasi Ilahiyah dan insaniayah { Malang : U IN Malang press. } hal;97-98 }
8. Nurdin, Quranik society,tjr.Sayid dadi,Arum Titisari {Jakarta : Aksara Pertama.2006} hal; 165

Minggu, 25 April 2010

Zakat Profesi

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Istilah Zakat Profesi belum dikenal di zaman Rosulullah. Bahkan kitab-kitab Fiqih yang menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan pembahasan bab zakat profesi dadalamnya. Harus diingat bahwa meski di zaman Rosulullah SAW telah ada beragam profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi penghasilan.
Di zaman sekarang profesi-profesi Seperti Dokter Spesialis, Arsitek, Pengacara, dan sebagainya adalah yang mendatangkan sejumlah besar harta dalam waktu yang singkat. Dibanding petani dan peternak miskin di desa-desa.
Perubahan sosial inilah yang mendasari ijtihad para ulama hari ini untuk melihat kembali cara pandang kita dalam menentukan : siapakah orang kaya dan siapakah orang miskin ? Padahal inti zakat itu adalah mengumpulkan harta orang kaya untuk diberikan pada orang miskin. Dizaman dahulu, orang kaya identik dengan Pedagang, Petani, dan Peternak. Tapi di zaman sekarang ini, orang kaya adalah para profesional yang bergaji besar. Zaman berubah namun prinsip zakat tidak berubah. Yang berubah adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya menyisihkan uangnya untuk orang miskin. Dan itu adalah intisari Zakat.Dengan demikian, zakat profesi merupakan ijtihad para ulama.
B. Rumusan masalah
1)Apa Pengertian Zakat Profesi?
2)Apa Tujuan dan Manfaat Zakat?
3)Bagaimanakah seputar Hukum tentang Zakat  profesi?
4)Berapakah Nisab serta kapan Zakat profesi dikeluarkan?
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Zakat Profesi
Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh, berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadits (Lisan al-Arab, 6:65). Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menumbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak (Fiqh al-Sunnah, 1:276). Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” yang artinya pekerjaan (John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, 1997:449). Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam tulisan ini ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.1
Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab. Profesi tersebut ada dua macam:
1. Profesi yang dihasilkan sendiri/ pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) seperti dokter, insinyur, artis, penjahit dan lain sebagainya.
2. Profesi yang dihasilkan dengan berkaitan pada orang lain dengan memperoleh gaji atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).  seperti pegawai negeri atau swasta, pekerja perusahaan dan sejenisnya.2 yaitu orang-orang yang melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak lain, misalnya seperti pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai pabrik, pegawai perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 2:865-866).3
Zakat Profesi adalah istilah zakat yang baru pada abad sekarang. Menurut kaidah pencetus zakat profesi bahwa orang yang menerima gaji dan lain-lain dikenakan zakat sebesar 2,5% tanpa menunggu haul (berputar selama setahun), bahkan pada sebagian kalangan malah tanpa menunggu nishob dan haul.
Disamping mereka menganalogikan dengan akal bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya menganalogikan dengan zakat pertanian.4
B. Tujuan dan Manfaat Zakat
Seperti diisyaratkan dalam ayat 103 dari surat At-Taubat di atas, bahwa secara teologis kewajiban zakat diberlakukan untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan sekaligus membersihkan jiwa pemiliknya dari berbagai kotoran rohani. Dan secara social menunjukkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin sehingga terjalin persaudaraan yang kokoh di masyarakat yang saling menolong dan saling menyayangi. Fungsi dan manfaat zakat yang lain disebutkan oleh Wahbah (1989,II:732-733) antara lain :
1. Menghindari kecemburuan social sehingga harta menjadi aman, karena kecemburuan sosial bisa menimbulkan kerawanan di masyarakat.
2. Memberi bantuan langsung kepada fakir miskin. Apabila mereka mempunyai keterampilan, maka uang bantuan itu dapat dipergunakan sebagi modal usaha kecil, dan apabila tidak mempunyai ketrampilan, maka akan dipergunakan sebagai bantuan yang dapat meringankan beban hidupnya.
3. Membersihkan muzakki dari sifat-sifat yang tidak terpuji dan tidak peduli kepada orang lain. karena orang mu’min yang telah membiasakan membayar zakat akan menjadi orang dermawan.
4. Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan memberikan kemudahan-kemudahan mencari rizki.5
C.  Seputar Hukum tentang Zakat  profesi 
 Dasar Hukum
Zakat hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.Diantara landasan Hukum zakat profesi baik yang berupa al Qur`an maupun Hadis adalah sebagai berikut :
Al Qur'an mengenai hal ini dapat ditemui pada surat Al Baqarah ayat 267:
                               
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"6
Firman Allah SWT:
     
"dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bahagian". (QS. Adz-Dzaariyaat (51): 19)
Firman Allah SWT:
                               
"Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu". (QS Al Baqarah: 267).


Hadist Nabi SAW:
"Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu".(HR. AL Bazar dan Baehaqi).7
 Pendapat Ulama Tentang zakat profesi
Perubahan masyarakat saat ini dari masyarakat agraris primitif dan tradisional menuju masyarakat maju dan modern berjalan begitu cepat. Sistem ekonomi bergeser dari pola ekonomi tradisional di pedesaan menuju masyarakat industri yang maju dan modern. Orang-orang mencari nafkah bukan lagi bertani dan berternak, tetapi bergerak di bidang jasa dan pelayanan. Orang-orang yang bekerja di bidang jasa dan pelayanan banyak yang memperoleh penghasilan (income) lebih baik dari pada usaha pertanian dan usaha lain yang hasilnya belum menentu. yang besar. Semua usaha ini umumnya lebih menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan kerja-kerja tradisional yang sekarang sudah mulai tidak diminati orang.
Inilah yang menimbulkan pertanyaan apakah mereka tidak diwajibkan membayar zakat? Sementara para petani tradisional yang pengahasilannya relatif kecil dibebani kewajiban zakat? Ada beberapa pandangan Ulama dalam masalah ini baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in sebagai berikut:
Pendapat yang tidak mewajibkan zakat profesi
1.  Imam Malik meriwayatkan dari Muhammad bin Uqbah bahwa dia bertanya kepada Qasim bin Muhammad tentang seorang budak yang membebaskan diri dengan membayar sejumlah besar uang, apakah harus membayar zakatnya? Qasim menjawab bahwa Abu Bakar al-Shiddiq tidak memungut zakat dari harta kecuali jika mencapai haul. Qasim memberikan penjelasan bahwa Abu Bakar apabila membayar gaji pegawai bertanya kepada mereka apakah mereka mempunyai harta yang lain yang wajib dizakati, apabila mereka menjawab punya, maka beliau langsung memungut zakat harta itu, dan apabila menjawab tidak mempunyai, maka beliau menyerahkan gajinya tanpa dipungut apapun.
2. Abdullah bin Umar mengatakan bahwa harta tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali apabila mencapai haul (Al-Muwatha, I:206-207)
3. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad) kecuali jika mencapai haul. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa apabila seseorang mempunyai harta sebanyak 200 dirham pada awal tahun kemudian uang itu digunakan sampai habis hingga tinggal satu dirham saja tetapi sesudah itu kira-kira sesaat sebelum akhir tahun orang itu usaha lagi hingga memperoleh hasil 199 dirham, maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya karena secara keseluruhan pada awal dan akhir tahun harta tersebut mencapai nisab. zakatnya kecuali apabila mencapai haul, baik yang bersangkutan mempunyai harta lain yang sejenis yang wajib dizakati atau tidak. Demikian pula pendapat Imam Asy-Syafi’I (Al-Muhalla d Imam Malik menegaskan bahwa harta hasil profesi tidak wajib dikeluarkan, VI:84)
Pendapat yang mewajibkan zakat profesi :
1. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa telah sah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa beliau mewajibkan zakat pada setiap harta yang wajib dizakati pada waktu dimiliki oleh seorang muslim (Al-Muhalla, VI:83).
2. Abu Ubaid meriwayatkan dari Hubairah bin Yarim bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud memungut zakat gaji prajurit (al-’atha) yang terjadi dalam beberapa peperangan kecil (Fiqh al-Zakat, I:500)
3. Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama memungut zakat dari gaji (al-a’thiyah) adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Al-Muwatha, I:207).
Hal ini mungkin maksudnya orang pertama dari kalangan Khalifah yang memungut zakat dari gaji pegawai, karena sebelumnya Abnu Mas’ud sudah melakukan hal itu. Dalam riwayat Abu Ubaid bahwa Mu’awiyah apabila menyerahkan gaji pegawainya diambil zakatnya. Demikian pula apabila membagi-bagikan harta terlantar yang dikuasai oleh negara (radd al-madzalim) kepada masyarakat dipungut zakatnya juga. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz (Khalifah al-Rasyidin ke lima) selalu mengeluarkan zakat dari gaji (al-’atha) dan honorarium (al-ja’izah). Bahkan sampai kepada honor dan hadiah yang diberikan kepada delegasi sebagai imbalan jasa atau suatu prestasi dipungut zakatnya.
4. Ulama Tabi’in  yang lain yang memandang wajib mengeluarkan zakat dari gaji dan pendapatan lainnya (al-mal al-mustafad) ialah Az-Zuhri, Al-Hasan. Makhul dan Al-Auza’ie
5. Madzhab Ahlul Bait seperti An-Nashir, Ash-Shadiq dan Al-Baqir sependapat dengan Daud Adh-Dhahiri bahwa orang yang menerima gaji mencapai nisab harus mengeluarkan zakatnya seketika, tanpa menunggu haul (Fqh al-Zakat,I:502-503)
6. Dari Imam Ahmad ada riwayat bahwa barang siapa yang menyewakan rumah atau tanah (’iqar) dan harganya mencapai nisab, maka harus dikeluarkan zakatnya saat itu. (Al-Mughni, II:638)
Asy-Syirazie dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa orang yang memperoleh uang sewa dari sebuah rumah dan telah mencapai haul maka zakatnya wajib dikeluarkan walaupun pihak penyewa belum memanfaatkan sampai habis masa kontraknya. Alasannya karena uang sewa tersebut telah menjadi milik penuh pihak yang menyewakan sama halnya dengan uang mahar bagi seorang wanita. Secara teknis An-Nawawie menjelaskan sebagai berikut:
a. Seandainya sebuah rumah dikontrakkan selama 4 tahun dengan uang sewa sebanyak 160 dinar, setiap tahun 40 dinar, maka membayar zakatnya pada tahun pertama 4 dinar, begitu pula tahun-tahun berikutnya harus membayar zakatnya sebanyak 4 dinar pertahun. Demikian ini jika uang zakat dibayar dari dana lain, tetapi apabila dibayar dari dana hasil sewaan rumah tersebut, maka tinggal dikurangi dengan jumlah pengeluaran tersebut.
b. Dibayar sesuai dengan jumlah uang sewa pertahun; tahun pertama 40 dinar, zakatnya 1 dinar; tahun kedua menjadi 80 dinar, zakatnya 2 tahun X 2 dinar =  4 dinar, tetapi karena sudah dibayar 1 dinar, maka membayarnya 3 dinar; tahun ketiga uang sewanya menjadi 120 dinar, maka zakatnya 3 tahun X 3 dinar = 9 dinar, tetapi karena sudah dibayar sebanyak 4 dinar, maka membayarnya 5 dinar; tahun keempat atau tahun terakhir uang sewanya menjadi 160 dinar, maka zakatnya 4 tahun X  4 dinar = 16 dinar, tetapi karena sudah dibayar           9 dinar, maka membayarnya hanya 7 dinar (Al-Thab’ah al-Kamilah min Kitab Al-Majmu, 5:508-509)
Ada yang menarik untuk dikaji dari pandangan Ulama Syafi’iyah ini, yakni bahwa setiap pendapatan (income) yang diterima oleh seorang muslim, baik berupa uang hasil sewaan rumah atau uang mahar apabila mencapai nisab dan haul, maka wajib dibayar zakatnya. Hal ini bisa dianalogkan dengan pendapatan hasil profesi, karena kedua-duanya sama-sama menawarkan jasa dan pelayanan.
Pendapat Ulama Kontemporer
Umumnnya Ulama Hijaz seperti Syaikh Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan lainnya tidak menyetujui zakat profesi. Bahkan Syaikh Dr. Wahbah Az-Zuhaily pun menolak keberadaan zakat profesi sebab zakat itu tidak pernah dibahas oleh para ulama salaf sebelum ini. Umumnya Kitab Fiqih Klasik memang tidak mencantumkan adanya zakat profesi.8
Ulama kontemporer seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan zakat hasil profesi dengan alasan :
1.Mensyaratkan haul dalam segala jenis harta termasuk hasil profesi (al-maal al-mustafad) tidak didukung oleh nash yang shahih atau hasan yang dapat dijadikan landasan untuk mentakhshish dalil ‘am atau mentaqyidi yang muthlaq.
2.Ulama shahabat dan tabi’in telah berbeda pendapat mengenai zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad), sebahagian mereka mensyaratkan adanya haul dan sebahagian lagi tidak mensyaratkannya, tetapi langsung dikeluarkan zakatnya pada saat diperolehnya. Jika terjadi demikian maka tidak ada pendapat yang satu lebih utama dari yang lain sehingga tidak ada yang mengharuskan berpegang pada salah satunya sehingga permasalahannya dikembalikan kepada otoritas nash “Apabila kamu berselisih maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Hadits)”9
3.Kalangan Ulama yang tidak mensyaratkan haul adalah lebih dekat kepada pengertian umum nash dan kemutlakkannya, karena nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku umum dan mutlak.
4.Apabila nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku secara umum dan mutlak, maka hasil profesi termasuk di dalamnya.
5.Mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi akan membebaskan kewajiban zakat kepada sebahagian besar pegawai tinggi dan para profeonal yang mendapatkan income sangat besar. Karena bisa saja hasilnya habis digunakan untuk membiayai hidup mewah dan berfoya-foya. Dengan demikian beban zakat hanya ditanggung oleh pekerja-pekerja menengah ke bawah yang hemat dan rajin untuk menabung.
6.Pendapat yang mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi berimplikasi pada ketidak adilan dalam pembebanan zakat. Karena seorang petani yang bekerja menggarap sawahnya berbulan-bulan ketika memperoleh hasil sebanyak 5 wasaq (lebih kurang 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras bernilai sekitar Rp 1800.000,-) dikenakan beban zakat 5-10 persen, sementara para pejabat tinggi dan pemimpin perusahaan atau pekerja-pekerja professional yamng mendapatkan uang (income) sangat besar tidak dikenakan zakat (Fiqh al-Zakat, I:505-509).10
D. Nisa dan Pengeluarkan Zakat profesi
Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras. Hal ini berarti bila harga beras adalah Rp 4.000/kg maka nisab zakat profesi adalah 520 dikalikan 4000 menjadi sebesar Rp 2.080.000. Namun mesti diperhatikan bahwa karena rujukannya pada zakat hasil pertanian yang dengan frekuensi panen sekali dalam setahun, maka pendapatan yang dibandingkan dengan nisab tersebut adalah pendapatan selama setahun.11
Nisab dihitung sesuai dengan gaji atau jasa profesi yang diterimanya. Apabila jumlahnya mencapai satu nisab, maka wajib bayar zakat, dan apabila jumlahnya tidak mencapai nisab, maka zakatnya tidak wajib dibayar.12
Pengeluaran Zakat
Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari sisi ini, ia berbeda dengan tanaman, dan lebih dekat dengan emas dan perak. Oleh karena itu kadar zakat profesi yang diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor. Hadits yang menyatakan kadar zakat emas dan perak adalah:
“Bila engkau memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%)” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).
Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:
1.Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor seara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.
2.Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.13
BAB III
KESIMPULAN

1.Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab. Profesi tersebut ada dua macam: a. Profesi yang dihasilkan sendiri/ pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) seperti dokter, insinyur, dan sebagainya. b. Profesi yang dihasilkan dengan berkaitan pada orang lain dengan memperoleh gaji atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).  seperti pegawai negeri atau swasta, pekerja perusahaan dan sejenisnya.
2.Diantara landasan Hukum zakat profesi baik yang berupa al Qur`an maupun Hadis adalah sebagai berikut :
Firman Allah SWT:
"Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu". (QS Al Baqarah: 267)
Hadis nabi
"Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu".(HR. AL Bazar dan Baehaqi).
3. Ulama kontemporer seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan zakat.
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat_Profesi
http://tanbihun.com/bahsul-masail/zakat-profesi/
http://tanbihun.com/bahsul-masail/zakat-profesi/
http://naqshbandibatam.org/keagamaan/artikel-dan-tulisan-islam/zakat-profesi-wajib-atau-tidak-.html
http://www.pkpu.or.id/panduan.php?id=3
http://abiubaidah.com

TALFIQ

BAB I
PENDAHULUAN
Islam senantiasa memberikan ruang gerak mudah bagi umatnya dalam menjalankan ajaran-ajarannya. Namun begitu, bukan berarti umat Islam bisa mengambil kebebasan tanpa mengenal batas. Kebebasan tetap harus berada dalam bingkai norma-norma yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya atau paling tidak berada dibawah kendali ijtihad ulama‘ sebagai pewaris Nabi.
Bagi orang awam, yang masih keliru, mereka sebenarnya boleh mengikuti ijtihad (pendapat) mana-mana ulama tempatan termasuk imam di masjid tempat mereka tanpa banyak soal. Tidak timbul isu bahawa mereka akan bermasalah kerana meninggalkan mazhab Syafie dan yang lain yang dipeganginya, khususnya di ketika wujudnya keperluan seperti ketika melakukan haji di Makkah dan bermastautin di negara Barat.
Tatkala itu, keperluan berpindah mengikuti pendapat mazhab lain adalah suatu kebutuhan disebabkan kesukaran dan keperluan. Malah sebenarnya, banyakan orang bukanlah boleh dikira bermazhab yang komited. Atau dalam arti kata lain, sebagian besar orang sebenarnya hanya ‘berasa’ atau ‘menyangka’ mereka menuruti satu mazhab sedangkan sebagian ibadat dan muamalah mereka setiap hari bercampur aduk antara mazhab, hingga ada kalanya mereka keluar dari pandangan mazhabi.
Di jaman dot com ini banyak permasalahan yang harus kita selesaikan, banyak waktu yang harus kita manfaatkan, banyak pertanyaan yang harus kita jawab, dan banyak opini yang harus kita tangkis, sebagai seorang yang menuntut ilmu, khususnya ilmu Islam. Salah satu dari sekian banyaknya pertanyaan yang harus kita jawab adalah, Talfiq Yang mencangkup segi ibadah dan mu'amalat. pertanyaanpun Tambul apakah talfiq itu, haram atau diperbolehkan? Nah di tulisan yang singkat ini penulis mencoba untuk membahas hal tersebut.
1. Apapengertian TALFIQ
2.Bagaimana hukum TALFIQ
3.Apa saja madalah yang diTALFIQkan
BAB I I
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TALFIQ
Banyak sekali pengertian tentang Talfiq. Sebelum membahas lebih jauh, marilah kita pahami dulu arti dari talfiq. Kata talfiq secara etimologi (jar kita bisa lugatan)memiliki arti melipat atau menggabungkan1Di dalam kamus Al-‘Asri karya Attabik Aly dan Ahmad Zuhdy Muhdhor, kata talfiq memiliki arti: “yang di buat-buat”,2
Sedangkan secara terminologi (istilah ilmu fiqih), talfiq berarti mencampuradukkan perbuatan dalam satu qhadiah (rangkaian) Ibadah yang memiliki dari dua pendapat atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaannya mempraktikkan sesuatu yang tak pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun.3Atau Mencetuskan hukum dengan mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga hukum tersebut menjadi sama sekali baru, mencetuskan hukum baru yang sama sekali tidak ada dalilnya, itulah yang lebih tepat disebut talfiq. Adapun berpindah madzhab dalam satu masalah agama dengan berlandasan kepada dalil atau karena kondisi tertentu, tidaklah termasuk talfiq.4Talfiq Bisa juga berarti;beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasarhukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab ataulebih.5
lebih lengkapnya Talfiq Ialah mengikut pendapat satu-satu imam dalam satu-satu masalah, kemudian bertaklid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh, mengambil wuduk ikut cara Hanafi dan sembahyang ikut cara Syafii. Ataupun, pada hari ini dia bersembahyang ikut pendapat SyafiI dengan membaca Bismillah.., esoknya dia bersembahyang ikut pendapat Hanafi dengan tidak membaca bismillah6.
Agar pemahaman tentang talfiq kita lebih gamblang, ada baiknya kita ambil satu contoh talfiq. Misalnya seseorang yang berwudlu tanpa menggosok (al-dalku) dengan dalih mengikuti madzhab Syafi’i. Setelah itu, ia bersentuhan dengan perempuan tanpa bersyahwat. Lalu ia menganggap wudlu’nya tidak batal dengan berpegangan pada pendapat Imam Malik. Kemudian ia melakukan shalat, maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam wudlu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’i, wudlu’nya sudah batal karena menyentuh wanita yang bukan mahramnya. Sedangkan, jika mengikuti madzhab Maliki wudlu’nya tidak sah karena tidak melakukan al-dalku atau menggosok. (Syarh al-Asnawi, III, 266, Tuhfah al-Ra’yi al-Sadid, V, 79).7
B.SEPUTAR HUKUM TENTANG TALFIQ
bertalfiq ini bukanlah dibolehkan secara mutlak begitu sahaja, kerana para ulama telah meletakkan beberapa syarat. Ada di antara talfiq tidak boleh diterima kerana dirinya sendiri (lizatihi) seperti talfiq yang membawa kepada menghalalkan sesuatu yang haram, seperti arak, zina dan seumpamanya. Ada di antara talfiq tidak boleh diterima kerana sesuatu sebab yang lain, yang terbahagi kepada tiga bahagian:
Pertama: Memilih rukhsah dengan sengaja. Iaitu seseorang mengambil hukum yang paling ringan daripada setiap mazhab tanpa keperluan dan keuzuran. Ini adalah dilarang sebagai langkah menutup pintu yang boleh membawa kepada larangan (سد الذرائع) iaitu helah untuk melepaskan diri daripada sebarang taklif syarak.
Kedua: Talfiq yang menyebabkan terbatalnya hukuman yang diputuskan oleh pemerintah, kerana sesuatu yang diputuskan oleh pemerintah hendaklah diterima dan diamalkan, kerana pilihannya menyebabkan perselisihan tidak lagi berlaku.
Ketiga: Talfiq yang menyebabkan seseorang menarik balik apa yang telah diamalkan sebelum ini secara taqlid atau menarik balik sesuatu yang menjadi ijmak bagi perkara yang diikuti secara taqlid sebelum ini.
Contoh keadaan pertama: Disebutkan di dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah: “Jika seorang faqih berkata kepada isterinya “engkau tertalak selama-lamanya” dan pada ketika itu dia berpendapat lafaz tersebut bermaksud talaq tiga, lalu dia bertindak berdasarkan pendapatnya itu, iaitu isterinya adalah diharamkan kepadanya buat selama-lamanya. Kemudian dia berpendapat bahawa lafaz tersebut hanya bermaksud talak satu sahaja, iaitu talak raj’ie, maka dia tetap mesti berpegang dengan pendapat pertamanya dahulu. Jadi dia tidak boleh mengembalikan semula isterinya hanya berdasarkan kerana pendapatnya sudah berubah.
Contoh keadaan kedua: Jika seseorang bertaqlid kepada mazhab Hanafi ketika berkahwin tanpa wali, maka perkahwinannya adalah sah berdasarkan mazhab Hanafi. Jadi talak yang dijatuhkan selepas itu juga adalah sah. Jika dia menjatuhkan talak tiga selepas itu, kemudian barulah dia mahu bertaqlid kepada mazhab Shafie bagi mengatakan talak itu tidak berlaku kerana perkahwinan itu sendiri tidak sah kerana dilakukan tanpa wali, maka tidak boleh berbuat demikian.
Kesimpulannya, boleh bertalfiq secara umumnya dengan syarat-syarat yang dinyatakan, terutamanya apabila berdasarkan pengkajian dan penyelidikan terhadap dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama, atau dengan mengikut pendapat orang alim tertentu yang dipercayai keilmuan dan kesolehannya, dan ketika berada dalam keadaan darurat atau hajat yang jika tidak bertalfiq akan menyebabkan kesulitan dan kesukaran dalam mengamalkan ajaran Islam8.
Ali Abi Talib RA diriwayatkan berkata: “Putuskanlah hukuman mengikut apa yang kamu biasa putuskan, sesungguhnya kau tidak gemar kepada perbezaan agar orang ramai boleh terus berada di dalam satu jemaah,” (Tarikh Baghdad, 8/42).
Ahmad Bin Hanbal berkata: “Tidak sewajarnya seorang ahli Fiqh, mendorong orang ramai kepada pegangannya dan berkeras atau memaksanya (menerima pandangannya) ke atas orang ramai,”. Perbalahan sesama kita hanya menyebabkan kita letih di pertengahan jalan, kerja gagal dijalankan, imej Islam pula yang menjadi semakin buruk9. DR. Wahbah Zuhaili juga sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat. (Ushul al-Fiqh al-Islamiy, II, 1181). Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.10Kebanyakkan ulamak membahagikan talfiq kepada dua:
1. Mengambil pendapat yang paling ringan di antara mazhab-mazhab dalam beberapa masalah yang berbeza. Contoh: Berwuduk ikut Hanafi dan  sembahyang ikut Maliki.
Apa hukumnya? Menurut ulamak-ulamak ini, talfiq dengan cara begini adalah dibenarkan, kerana dia mengamalkan pendapat yang berbeza dalam dua masalah yang berbeza Wuduk dan sembahyang. Talfiq begini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat dari Allah Taala terhadap umat Muhamad. Dibenarkan juga mengambil pendapat yang paling ringan antara mazhab-mazhab dalam satu masalah. Ia diamalkan pada masa yang berlainan yang tidak bergantung satu sama lain. Contoh, Ali berwuduk menurut syarat-syarat yang telah ditetap oleh Syafii. Pada waktu lain dia berwuduk menurut syarat-syarat yang ditetapkan oleh Hanafi. Talfiq seperti ini dibenarkan kerana wuduk pertama yang menurut syarat SyafiI telah selesai dan digunakan untuk satu-satu ibadah hingga selesai. Kemudian wuduk keduanya menurut Hanafi juga selesai dan digunakan untuk tujuan tertentu hingga selesai. Jelasnya ia dilakukan, sekalipun masalahnya sama tetapi dalam peristiwanya berbeza.
2. Mengambil pendapat yang paling ringan di antara mazhab-mazhab dalam satu masalah. Talfiq begini tidak benarkan.
Contoh, Ali bernikah tidak menggunakan wali kerana ikut Hanafi. Dia tidak memakai 2 saksi kerana mengikut pendapat Maliki. Pernikahan seperti ini adalah batal/tidak sah11
Selanjutnnya kita beralih pada wilayah praktik talfiq. Para ulama‘ fiqih sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada masalah furu‘iyah ijtihadiyah dzanniyah (cabang-cabang fiqih yang masih diperdebatkan). Sedangkan masalah ‘aqidah, iman, akhlak dan sesuatu yang mudah diketahui oleh semua muslim bukanlah wilayah talfiq. Dengan alasan bahwa ber-taqlid saja dalam hal ini tidak dibenarkan apalagi ber-talfiq
Mengenai hukum-hukum furu‘iyah yang menjadi ajang talfiq di atas, ulama‘ fiqih mengelompokkannya menjadi tiga bagian. Pertama, hukum yang didasarkan pada kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia. Hukum-hukum seperti ini adalah hukum yang termasuk ibadah mahdhah, karena dalam masalah ibadah ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang hamba kepada Allah Swt. mudharhttp://azharku.wordpress.com/2006/10/16/hukum-talfiqboleh-ngga/at-an12.
Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknyaseseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalahboleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabilaseseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satumazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yangberarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhablain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginyamengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1.Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupunsebagian (talfiq). Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan eksploitir.
2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencarikemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalamkesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yangkedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggapbatal.Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olahal-Qarafi.
3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan.Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam. Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapat di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain:
1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnahyang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya (QS. al-Nahl: 43).
2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah, selama tidak membawa ke dosa.
3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" –orang awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak terikat. Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka yang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang diundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanya kesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusan pemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akan menyelesaikan persengketaan.13" Maka dapatlah disimpulkan bahawa mana-mana pendapat ulama yang berijtihad mengeluarkan hukum dapat digunakan pandangan mereka selagi mana pendapat mereka didasari dalil daripada al-Quran dan as-Sunnah. Berlapang dada lah dalam menerima perbezaan aliran pandangan selagi mana ia tidak meminggirkan al-Quran dan as-Sunnah sebaliknya wajib untuk kita menyanggahi kepada golongan yang hanya menggunakan pandangan akal semata-mata kerana ia akan membawa kita jatuh ke dalam kehancuran bidaah14!!
Dr. Yusuf al-Qardhawi, seorang sarjana Islam kontemporari pula menyebut:
"Golongan yang taasub ini tidak membolehkan sesiapa yang mengikut sesuatu mazhab keluar daripanya, sekalipun dalam beberapa masalah yang jelas kepada pengikut mazhab bahawa dalil mazhabnya lemah. Sehingga mereka menyifatkan sesiapa yang keluar mazhab sebagai tidak berpendirian. Perbuatan ini sebenarnya mewajibkan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah SWT. Seakan-akan mereka menganggap imam-imam mazhab mempunyai kuasa membuat syariat dan perkataan mereka adalah hujah syarak yang dipegang dan tidak boleh dibangkang. Ini sebenarnya menyanggahi tunjuk ajar imam-imam mazhab itu sendiri kerana sesungguhnya mereka telah melarang orang ramai bertaklid kepada mereka atau selain daripada mereka. Ini juga menyanggahi apa yang dipegang oleh golongan Salaf umat ini iaitu para sahabat dan mereka yang selepas sahabat sepanjang kurun-kurun yang awal yang merupakan sebaik-baik kurun yang paling dekat kepada petunjuk Nabi s.a.w. Justeru, para ulama besar umat ini dan para muhaqqiqnya (penganalisis)
membantah sikap melampau dalam taklid mazhab yang menyamai apa yang dilakukan oleh ahli kitab yang mengambil paderi dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan mereka selain Allah15".Kalau kita lihat beberapa pendapat di atas, ternyata tidak ada qoul (pendapat) yang membolehkan talfiq secara mutlak. Oleh karena itu, ada beberapa klasifikasi talfiq yang perlu diperhatikan. Pertama, talfiq batal secara esensi, seperti melakukan sesuatu yang menyebabkan penghalalan barang yang haram, seperti menghalalkan khamr, zina dan lainnya. Kedua, talfiq yang dilarang bukan pada esensinya, tetapi karena faktor eksternal16.
C.PEMBAGIAN TALFIQ
Talfiq mencangkup segi ibadah dan mu'amalat. Talfiq di bidang ibadah seperti seseorang berwudu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit dengan ajnabiyah; dan ia terus mendirikan shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudlu. Adapun contoh talfiq dalam bidang muamalah adalah membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li (langsung bersetubuh)17.
Contoh lainTalfiq. a. Dalam Ibadat.
1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudlu.
2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi.
b. Masalah Kemasyarakatan
1. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat, kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebutberlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang tidak memandang persoalan mathla'18.


DAFTAR PUSTAKA

talfiq-haramkah.html http://www.kpts-tapanuli.com/2009/07/
keunggulanislam/id50.html http://syededlee.tripod.com/
Artikel ditandai dengan mazhab    q&a    talfiq
hukum-talfiqboleh-ngga/at-an. mudharhttp://azharku.wordpress.com/2006/10/16/
http://muis.ismaweb.net/?p=360
Article/index_html http://www.hmetro.com.my/myMetro/articles/20091230131448/ islam/Paramadina/Konteks/TaqlidIH4.html http://media.isnet.org/
Antara Prinsip dan Mazhab-Abu Ruwais campur-mazhab-adakah-tidak- dibenarkan.html. http://hadi87.blogspot.com/2009/11/