sip

sip
ditengah

Minggu, 25 April 2010

Zakat Profesi

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Istilah Zakat Profesi belum dikenal di zaman Rosulullah. Bahkan kitab-kitab Fiqih yang menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan pembahasan bab zakat profesi dadalamnya. Harus diingat bahwa meski di zaman Rosulullah SAW telah ada beragam profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi penghasilan.
Di zaman sekarang profesi-profesi Seperti Dokter Spesialis, Arsitek, Pengacara, dan sebagainya adalah yang mendatangkan sejumlah besar harta dalam waktu yang singkat. Dibanding petani dan peternak miskin di desa-desa.
Perubahan sosial inilah yang mendasari ijtihad para ulama hari ini untuk melihat kembali cara pandang kita dalam menentukan : siapakah orang kaya dan siapakah orang miskin ? Padahal inti zakat itu adalah mengumpulkan harta orang kaya untuk diberikan pada orang miskin. Dizaman dahulu, orang kaya identik dengan Pedagang, Petani, dan Peternak. Tapi di zaman sekarang ini, orang kaya adalah para profesional yang bergaji besar. Zaman berubah namun prinsip zakat tidak berubah. Yang berubah adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya menyisihkan uangnya untuk orang miskin. Dan itu adalah intisari Zakat.Dengan demikian, zakat profesi merupakan ijtihad para ulama.
B. Rumusan masalah
1)Apa Pengertian Zakat Profesi?
2)Apa Tujuan dan Manfaat Zakat?
3)Bagaimanakah seputar Hukum tentang Zakat  profesi?
4)Berapakah Nisab serta kapan Zakat profesi dikeluarkan?
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Zakat Profesi
Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh, berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadits (Lisan al-Arab, 6:65). Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menumbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak (Fiqh al-Sunnah, 1:276). Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” yang artinya pekerjaan (John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, 1997:449). Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam tulisan ini ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.1
Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab. Profesi tersebut ada dua macam:
1. Profesi yang dihasilkan sendiri/ pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) seperti dokter, insinyur, artis, penjahit dan lain sebagainya.
2. Profesi yang dihasilkan dengan berkaitan pada orang lain dengan memperoleh gaji atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).  seperti pegawai negeri atau swasta, pekerja perusahaan dan sejenisnya.2 yaitu orang-orang yang melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak lain, misalnya seperti pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai pabrik, pegawai perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 2:865-866).3
Zakat Profesi adalah istilah zakat yang baru pada abad sekarang. Menurut kaidah pencetus zakat profesi bahwa orang yang menerima gaji dan lain-lain dikenakan zakat sebesar 2,5% tanpa menunggu haul (berputar selama setahun), bahkan pada sebagian kalangan malah tanpa menunggu nishob dan haul.
Disamping mereka menganalogikan dengan akal bahwa kenapa hanya petani-petani yang dikeluarkan zakatnya sedangkan para dokter, eksekutif, karyawan yang gajinya hanya dalam beberapa bulan sudah melebihi nisab, tidak diambil zakatnya menganalogikan dengan zakat pertanian.4
B. Tujuan dan Manfaat Zakat
Seperti diisyaratkan dalam ayat 103 dari surat At-Taubat di atas, bahwa secara teologis kewajiban zakat diberlakukan untuk membersihkan harta dari berbagai syubhat dan sekaligus membersihkan jiwa pemiliknya dari berbagai kotoran rohani. Dan secara social menunjukkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin sehingga terjalin persaudaraan yang kokoh di masyarakat yang saling menolong dan saling menyayangi. Fungsi dan manfaat zakat yang lain disebutkan oleh Wahbah (1989,II:732-733) antara lain :
1. Menghindari kecemburuan social sehingga harta menjadi aman, karena kecemburuan sosial bisa menimbulkan kerawanan di masyarakat.
2. Memberi bantuan langsung kepada fakir miskin. Apabila mereka mempunyai keterampilan, maka uang bantuan itu dapat dipergunakan sebagi modal usaha kecil, dan apabila tidak mempunyai ketrampilan, maka akan dipergunakan sebagai bantuan yang dapat meringankan beban hidupnya.
3. Membersihkan muzakki dari sifat-sifat yang tidak terpuji dan tidak peduli kepada orang lain. karena orang mu’min yang telah membiasakan membayar zakat akan menjadi orang dermawan.
4. Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan memberikan kemudahan-kemudahan mencari rizki.5
C.  Seputar Hukum tentang Zakat  profesi 
 Dasar Hukum
Zakat hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.Diantara landasan Hukum zakat profesi baik yang berupa al Qur`an maupun Hadis adalah sebagai berikut :
Al Qur'an mengenai hal ini dapat ditemui pada surat Al Baqarah ayat 267:
                               
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji"6
Firman Allah SWT:
     
"dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak dapat bahagian". (QS. Adz-Dzaariyaat (51): 19)
Firman Allah SWT:
                               
"Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu". (QS Al Baqarah: 267).


Hadist Nabi SAW:
"Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu".(HR. AL Bazar dan Baehaqi).7
 Pendapat Ulama Tentang zakat profesi
Perubahan masyarakat saat ini dari masyarakat agraris primitif dan tradisional menuju masyarakat maju dan modern berjalan begitu cepat. Sistem ekonomi bergeser dari pola ekonomi tradisional di pedesaan menuju masyarakat industri yang maju dan modern. Orang-orang mencari nafkah bukan lagi bertani dan berternak, tetapi bergerak di bidang jasa dan pelayanan. Orang-orang yang bekerja di bidang jasa dan pelayanan banyak yang memperoleh penghasilan (income) lebih baik dari pada usaha pertanian dan usaha lain yang hasilnya belum menentu. yang besar. Semua usaha ini umumnya lebih menjanjikan kesejahteraan dibandingkan dengan kerja-kerja tradisional yang sekarang sudah mulai tidak diminati orang.
Inilah yang menimbulkan pertanyaan apakah mereka tidak diwajibkan membayar zakat? Sementara para petani tradisional yang pengahasilannya relatif kecil dibebani kewajiban zakat? Ada beberapa pandangan Ulama dalam masalah ini baik dari kalangan shahabat maupun tabi’in sebagai berikut:
Pendapat yang tidak mewajibkan zakat profesi
1.  Imam Malik meriwayatkan dari Muhammad bin Uqbah bahwa dia bertanya kepada Qasim bin Muhammad tentang seorang budak yang membebaskan diri dengan membayar sejumlah besar uang, apakah harus membayar zakatnya? Qasim menjawab bahwa Abu Bakar al-Shiddiq tidak memungut zakat dari harta kecuali jika mencapai haul. Qasim memberikan penjelasan bahwa Abu Bakar apabila membayar gaji pegawai bertanya kepada mereka apakah mereka mempunyai harta yang lain yang wajib dizakati, apabila mereka menjawab punya, maka beliau langsung memungut zakat harta itu, dan apabila menjawab tidak mempunyai, maka beliau menyerahkan gajinya tanpa dipungut apapun.
2. Abdullah bin Umar mengatakan bahwa harta tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali apabila mencapai haul (Al-Muwatha, I:206-207)
3. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa Imam Abu Hanifah tidak mewajibkan zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad) kecuali jika mencapai haul. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa apabila seseorang mempunyai harta sebanyak 200 dirham pada awal tahun kemudian uang itu digunakan sampai habis hingga tinggal satu dirham saja tetapi sesudah itu kira-kira sesaat sebelum akhir tahun orang itu usaha lagi hingga memperoleh hasil 199 dirham, maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya karena secara keseluruhan pada awal dan akhir tahun harta tersebut mencapai nisab. zakatnya kecuali apabila mencapai haul, baik yang bersangkutan mempunyai harta lain yang sejenis yang wajib dizakati atau tidak. Demikian pula pendapat Imam Asy-Syafi’I (Al-Muhalla d Imam Malik menegaskan bahwa harta hasil profesi tidak wajib dikeluarkan, VI:84)
Pendapat yang mewajibkan zakat profesi :
1. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa telah sah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa beliau mewajibkan zakat pada setiap harta yang wajib dizakati pada waktu dimiliki oleh seorang muslim (Al-Muhalla, VI:83).
2. Abu Ubaid meriwayatkan dari Hubairah bin Yarim bahwa Abdullah Ibnu Mas’ud memungut zakat gaji prajurit (al-’atha) yang terjadi dalam beberapa peperangan kecil (Fiqh al-Zakat, I:500)
3. Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa orang yang pertama memungut zakat dari gaji (al-a’thiyah) adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (Al-Muwatha, I:207).
Hal ini mungkin maksudnya orang pertama dari kalangan Khalifah yang memungut zakat dari gaji pegawai, karena sebelumnya Abnu Mas’ud sudah melakukan hal itu. Dalam riwayat Abu Ubaid bahwa Mu’awiyah apabila menyerahkan gaji pegawainya diambil zakatnya. Demikian pula apabila membagi-bagikan harta terlantar yang dikuasai oleh negara (radd al-madzalim) kepada masyarakat dipungut zakatnya juga. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz (Khalifah al-Rasyidin ke lima) selalu mengeluarkan zakat dari gaji (al-’atha) dan honorarium (al-ja’izah). Bahkan sampai kepada honor dan hadiah yang diberikan kepada delegasi sebagai imbalan jasa atau suatu prestasi dipungut zakatnya.
4. Ulama Tabi’in  yang lain yang memandang wajib mengeluarkan zakat dari gaji dan pendapatan lainnya (al-mal al-mustafad) ialah Az-Zuhri, Al-Hasan. Makhul dan Al-Auza’ie
5. Madzhab Ahlul Bait seperti An-Nashir, Ash-Shadiq dan Al-Baqir sependapat dengan Daud Adh-Dhahiri bahwa orang yang menerima gaji mencapai nisab harus mengeluarkan zakatnya seketika, tanpa menunggu haul (Fqh al-Zakat,I:502-503)
6. Dari Imam Ahmad ada riwayat bahwa barang siapa yang menyewakan rumah atau tanah (’iqar) dan harganya mencapai nisab, maka harus dikeluarkan zakatnya saat itu. (Al-Mughni, II:638)
Asy-Syirazie dari kalangan Syafi’iyah mengatakan bahwa orang yang memperoleh uang sewa dari sebuah rumah dan telah mencapai haul maka zakatnya wajib dikeluarkan walaupun pihak penyewa belum memanfaatkan sampai habis masa kontraknya. Alasannya karena uang sewa tersebut telah menjadi milik penuh pihak yang menyewakan sama halnya dengan uang mahar bagi seorang wanita. Secara teknis An-Nawawie menjelaskan sebagai berikut:
a. Seandainya sebuah rumah dikontrakkan selama 4 tahun dengan uang sewa sebanyak 160 dinar, setiap tahun 40 dinar, maka membayar zakatnya pada tahun pertama 4 dinar, begitu pula tahun-tahun berikutnya harus membayar zakatnya sebanyak 4 dinar pertahun. Demikian ini jika uang zakat dibayar dari dana lain, tetapi apabila dibayar dari dana hasil sewaan rumah tersebut, maka tinggal dikurangi dengan jumlah pengeluaran tersebut.
b. Dibayar sesuai dengan jumlah uang sewa pertahun; tahun pertama 40 dinar, zakatnya 1 dinar; tahun kedua menjadi 80 dinar, zakatnya 2 tahun X 2 dinar =  4 dinar, tetapi karena sudah dibayar 1 dinar, maka membayarnya 3 dinar; tahun ketiga uang sewanya menjadi 120 dinar, maka zakatnya 3 tahun X 3 dinar = 9 dinar, tetapi karena sudah dibayar sebanyak 4 dinar, maka membayarnya 5 dinar; tahun keempat atau tahun terakhir uang sewanya menjadi 160 dinar, maka zakatnya 4 tahun X  4 dinar = 16 dinar, tetapi karena sudah dibayar           9 dinar, maka membayarnya hanya 7 dinar (Al-Thab’ah al-Kamilah min Kitab Al-Majmu, 5:508-509)
Ada yang menarik untuk dikaji dari pandangan Ulama Syafi’iyah ini, yakni bahwa setiap pendapatan (income) yang diterima oleh seorang muslim, baik berupa uang hasil sewaan rumah atau uang mahar apabila mencapai nisab dan haul, maka wajib dibayar zakatnya. Hal ini bisa dianalogkan dengan pendapatan hasil profesi, karena kedua-duanya sama-sama menawarkan jasa dan pelayanan.
Pendapat Ulama Kontemporer
Umumnnya Ulama Hijaz seperti Syaikh Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan lainnya tidak menyetujui zakat profesi. Bahkan Syaikh Dr. Wahbah Az-Zuhaily pun menolak keberadaan zakat profesi sebab zakat itu tidak pernah dibahas oleh para ulama salaf sebelum ini. Umumnya Kitab Fiqih Klasik memang tidak mencantumkan adanya zakat profesi.8
Ulama kontemporer seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan zakat hasil profesi dengan alasan :
1.Mensyaratkan haul dalam segala jenis harta termasuk hasil profesi (al-maal al-mustafad) tidak didukung oleh nash yang shahih atau hasan yang dapat dijadikan landasan untuk mentakhshish dalil ‘am atau mentaqyidi yang muthlaq.
2.Ulama shahabat dan tabi’in telah berbeda pendapat mengenai zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad), sebahagian mereka mensyaratkan adanya haul dan sebahagian lagi tidak mensyaratkannya, tetapi langsung dikeluarkan zakatnya pada saat diperolehnya. Jika terjadi demikian maka tidak ada pendapat yang satu lebih utama dari yang lain sehingga tidak ada yang mengharuskan berpegang pada salah satunya sehingga permasalahannya dikembalikan kepada otoritas nash “Apabila kamu berselisih maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Hadits)”9
3.Kalangan Ulama yang tidak mensyaratkan haul adalah lebih dekat kepada pengertian umum nash dan kemutlakkannya, karena nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku umum dan mutlak.
4.Apabila nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku secara umum dan mutlak, maka hasil profesi termasuk di dalamnya.
5.Mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi akan membebaskan kewajiban zakat kepada sebahagian besar pegawai tinggi dan para profeonal yang mendapatkan income sangat besar. Karena bisa saja hasilnya habis digunakan untuk membiayai hidup mewah dan berfoya-foya. Dengan demikian beban zakat hanya ditanggung oleh pekerja-pekerja menengah ke bawah yang hemat dan rajin untuk menabung.
6.Pendapat yang mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi berimplikasi pada ketidak adilan dalam pembebanan zakat. Karena seorang petani yang bekerja menggarap sawahnya berbulan-bulan ketika memperoleh hasil sebanyak 5 wasaq (lebih kurang 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras bernilai sekitar Rp 1800.000,-) dikenakan beban zakat 5-10 persen, sementara para pejabat tinggi dan pemimpin perusahaan atau pekerja-pekerja professional yamng mendapatkan uang (income) sangat besar tidak dikenakan zakat (Fiqh al-Zakat, I:505-509).10
D. Nisa dan Pengeluarkan Zakat profesi
Nisab zakat pendapatan/profesi mengambil rujukan kepada nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras. Hal ini berarti bila harga beras adalah Rp 4.000/kg maka nisab zakat profesi adalah 520 dikalikan 4000 menjadi sebesar Rp 2.080.000. Namun mesti diperhatikan bahwa karena rujukannya pada zakat hasil pertanian yang dengan frekuensi panen sekali dalam setahun, maka pendapatan yang dibandingkan dengan nisab tersebut adalah pendapatan selama setahun.11
Nisab dihitung sesuai dengan gaji atau jasa profesi yang diterimanya. Apabila jumlahnya mencapai satu nisab, maka wajib bayar zakat, dan apabila jumlahnya tidak mencapai nisab, maka zakatnya tidak wajib dibayar.12
Pengeluaran Zakat
Penghasilan profesi dari segi wujudnya berupa uang. Dari sisi ini, ia berbeda dengan tanaman, dan lebih dekat dengan emas dan perak. Oleh karena itu kadar zakat profesi yang diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, yaitu 2,5% dari seluruh penghasilan kotor. Hadits yang menyatakan kadar zakat emas dan perak adalah:
“Bila engkau memiliki 20 dinar emas, dan sudah mencapai satu tahun, maka zakatnya setengah dinar (2,5%)” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Al-Baihaqi).
Menurut Yusuf Qardhawi perhitungan zakat profesi dibedakan menurut dua cara:
1.Secara langsung, zakat dihitung dari 2,5% dari penghasilan kotor seara langsung, baik dibayarkan bulanan atau tahunan. Metode ini lebih tepat dan adil bagi mereka yang diluaskan rezekinya oleh Allah. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 3.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar: 2,5% X 3.000.000=Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun.
2.Setelah dipotong dengan kebutuhan pokok, zakat dihitung 2,5% dari gaji setelah dipotong dengan kebutuhan pokok. Metode ini lebih adil diterapkan oleh mereka yang penghasilannya pas-pasan. Contoh: Seseorang dengan penghasilan Rp 1.500.000,- dengan pengeluaran untuk kebutuhan pokok Rp 1.000.000 tiap bulannya, maka wajib membayar zakat sebesar : 2,5% X (1.500.000-1.000.000)=Rp 12.500 per bulan atau Rp 150.000,- per tahun.13
BAB III
KESIMPULAN

1.Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab. Profesi tersebut ada dua macam: a. Profesi yang dihasilkan sendiri/ pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) seperti dokter, insinyur, dan sebagainya. b. Profesi yang dihasilkan dengan berkaitan pada orang lain dengan memperoleh gaji atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).  seperti pegawai negeri atau swasta, pekerja perusahaan dan sejenisnya.
2.Diantara landasan Hukum zakat profesi baik yang berupa al Qur`an maupun Hadis adalah sebagai berikut :
Firman Allah SWT:
"Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakat) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu". (QS Al Baqarah: 267)
Hadis nabi
"Bila zakat bercampur dengan harta lainnya maka ia akan merusak harta itu".(HR. AL Bazar dan Baehaqi).
3. Ulama kontemporer seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan zakat.
DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Zakat_Profesi
http://tanbihun.com/bahsul-masail/zakat-profesi/
http://tanbihun.com/bahsul-masail/zakat-profesi/
http://naqshbandibatam.org/keagamaan/artikel-dan-tulisan-islam/zakat-profesi-wajib-atau-tidak-.html
http://www.pkpu.or.id/panduan.php?id=3
http://abiubaidah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar