sip

sip
ditengah

Jumat, 23 April 2010

sunah sebagai sumber kedua




PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sunnah merupakan sumber hukum kedua Islam yang juga merupakan aturan yang harus ditaati bagi setiap muslim. Sunnah merupakan perkataan, perbuatan, dan takrir atau ketetapan Nabi SAW . Sunnah berupa aturan hukum atau anjuran bagi setiap muslim. Baik muslim zaman dahulu sampai muslim pada zaman ini, tetapi kita lihat muslim saat ini jarang yang benar-benar ada menghidupkan sunnah Rasulullah.
Sunnah juga merupakan penguat dalam hukum al qur’an.
a. Sunnah yaitu perbuatan Nabi yang juga merupakan penjelasan terhadap apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Namun hal tersebut masih memerlukan penjelasan Nabi sendiri seperti hal tentang zakat.
b. Sunnah adalah perbuatan Nabi yang fungsinya memberi petunjuk kepada umat dan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukan oleh umat.
Dengan demikian hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an mudah diterima dan dijalankan oleh semua umat. Periwayat sunnah pun orang yang benar-benar telah diketahui tabiatnya yang mempunyai akhlak dan budi pekerti serta jujur dan kuat hafalan, benar-benar diketahui sanad dan matannya yang berkualitas dari Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh dengan judul SUNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA.

B. POKOK BAHASAN
  1. Pengertian Sunnah
  2. Kehujjahan Sunnah
  3. Dilalah Sunnah
  4. Kedudukan Sunnah Terhadap Al Qur’an
PEMBAHASAN
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA

Kedudukan sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunnah kadang-kadang memperluas hukum dalam al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum diluar apa yang ditentukan Allah dalam al-Qur’an.
Kedudukan sunnah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum al-Qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan sunnah sebagai dalil yang berdiri sendiri sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini di sebabkan bahwa ajaran al-Qur’an telah sempurna.
Sunnah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk di taati serta mengikat untuk semua umat Islam.

A. Pengertian Sunnah

Kata “sunnah” (سنة ) berasal dari kata سن secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Penggunan kata sunnah dalam arti ini terlihat dalam sabda Nabi :
من سنّ سنّة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها ومن سنّ سنّة سيّئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة.
Siapa yang membuat Sunnah yang baik maka baginya pahala serta pahala orang yang mengerjakannya dan siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka baginya siksaan serta siksaan orang yang mengerjakannya sampai hari kiamat”.
Dalam al-Qur’an terdapat kata “Sunah” dalam 16 tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”. Umpamanya dalam firman Allah dalam Ali Imran (3): 137:
قد خلت من قبلكم سنن فسيروا في الأرض….(ال عمران 137)
Sesungguhnya telah berlaku sebelum kamu sunnah-sunnah Allah. Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi”.
Kemudian dalam al-Isra’ (17): 77:
سنّة من قد ارسلنا قبلك من رسلنا ولا تجد لسنّتنا تحويلا.
(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu sunnah terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami”.
Ulama Islam mengutip kata Sunnah dari al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka gunakan dalam artian khusus yaitu: “cara yang biasa dilakukan dalam pengalaman agama”. Kata Sunnah dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti ini.
Kata Sunnah sering disebut seiring dengan kata “kitab”. Di kala kata Sunnah dirangkaikan dengan kata “kitab”, maka Sunnah berarti: “cara-cara beramal dalam agama berdasarkan apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW” ; “atau suatu amaliah agama yang telah dikenal oleh semua orang”. Kata Sunnah dalam artian ini adalah lawan dari kata “bid’ah” yaitu amaliah yang diada-adakan dalam urusan agama yang belum pernah dilakukan oleh Nabi. Bid’ah dalam arti ini ditolak Nabi dalam suatu pernyataannya.
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupn pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan Sunnah dalam istilah ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
Perbedaan ahli ushul dengan ahli fiqh dalam memberikan arti pada Sunnah sebagimana disebutkan di atas adalah karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Untuk maksud itu ia mengatakan, “Hukum ini ditetapkan berdasarkan Sunnah”. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai dari salah satu hukum syara’ yang yang mungkin berlaku terhadap satu perbuatan. Untuk maksud itu ia berkata, “Perbuatan ini hukumnya adalah Sunnah”. Dalam pengertian ini Sunnah adalah “hukum”, bukan “sumber hukum”.
Kata “Sunnah” sering diidentikkan dengan kata “Hadits”. Kata “Hadits” ini sering digunakan oleh ahli Hadits dengan maksud yang sama dengan kata “Sunnah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama ushul.
Di kalangan ulama ada yang membedakan Sunnah dari Hadits, terutama karena dari segi etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata Hadits lebih banyak mengarah kepada ucapan-ucapan Nabi; sedangkan Sunnah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.
Semua ulama Ahl al-Sunnah baik dalam kelompok ahli fiqh, ulama ushul fiqh maupun ulama Hadits sepakat mengatakan bahwa kata Sunnah atau Hadits itu hanya merujuk kepada dan berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. Alasannya adalah karena beliau sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), dan karenanya beliau sendirilah yang merupakan sumber teladan, sehingga apa yang disunnahkannya mengikat seluruh umat Islam.

B. Kahujahan Sunnah

Para ulama sepakat bahwa hadits shohih itu merupakan sumber hokum, namun mereka berbeda pendapat dalam menilai keshohihan suatu hadits.
Kebanyakan ulama hadits menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, hadits ini terbagi dalam mutawatir dan ahad, sedangkan hadits ahad itu terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu masyhur, ‘aziz dan gharib. Namun menurut Hanfiah, hadits itu terbagi tiga bagian yaitu mutawatir, masyhur dan ahad.

C. Dilalah Sunnah

Di tinjau dari segi Dilalah hadits sama dengan Al Qur’an yaitu bisa Qoth’iah dilalah dan bisa Zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi Tsubut, ada yang Qoth’i dan ada yang Zhanni, kebanyakan ulama’ menyepakati pembagian tersebut, namun dalam aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat As Sunnah terhadap Al Qur’an, para ulama telah sepakat bahwa As Sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat di dalam Al Qur’an dan juga sebagai penguat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat meneganai kedudukan As Sunnah terhadap Al Qur’an apabila As Sunnah itu tidak sejalan dengan Zhahir ayat Al Qur’an.

D. Kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur’an

Sunah merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an karena sunah merupakan penjelas dari Al Qur’an, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan sunah terhadap Al Qur’an sekurang-kurangnya ada tiga hal sebagai berikut:
  1. Sunnah sebagai ta’kid Al Qur’an
Hukum islam disandarkan pada dua sumber yaitu Al Qur’an dan Sunnah.
Tidak heran kalau banyak sekali sunnah yang menerangkan tentang kewajiban sholat, zakat, puasa, larangan musyrik dan lain-lain.
  1. Sunnah sebagai penjelas Al Qur’an

Dalam uraian tentang al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam al-Quran adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dar Sunnah. Dengan demikian fungsi Sunnah yang utama adalah untuk menjelaskan al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam al-Nahl (16): 64:

وما أنزلنا عليك الكتاب إلاّ لتبيّن لهم الذي اختلفتم فيه.
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu”.
Dengan demikian bila al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunnah disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan al-Qur’an, ia menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Sunnah hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam al-Qur’an. Umpamanya firman Allah dalam al-Baqarah (2): 110:
وأقيموا الصلاة واتوا الزكاة…..(البقرة: 110)
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat….”.
Ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi:
بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأنّ محمّدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة…
Islam itu didirikan dengan lima pondasi; kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat…”.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksudkan dalam al-Qur’an dalam hal:
a. menjelaskan arti yang masih samar dalam al-Qur’an,
b. merinci apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
c. membatasi apa-apa yang dalam al-Qur’an disebutkan secara umum,
d. memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur’an.
Contoh menjelaskan arti kata dalam al-Qur’an umpamanya kata “shalat” yang masih samar atau ijmal artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan perbuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda: “Inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan shalat”.
Contoh Sunnah merinci ayat al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam an-Nisa (4): 103:
إنّ الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا (النّساء :103)
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
Ayat itu dirinci oleh hadits Nabi dari Abdullah ibn “Amru menurut riwayat Muslim:
وقت الظهر إذا زالت الشمس وكان ظلّ الرجل كطوله ولم يحضر العصر ووقت العصر ما لم تصفرّ الشمس ووقت صلاة المغرب مالم يغب الشفق ووقت صلاة العشاءإلى نصف الليل الاوسط ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر مالم تطلع الشمس.
Waktu zhuhur adalah apabila matahari telah condong dan bayang-bayang orang sama dengan panjangnya, sementara waktu ashar belum tiba, waktu ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu maghrib adalah selama mega belum hilang, waktu shalat isya’ adalah sampai pertengahan malam, dan waktu shalat subuh adalah sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit”.
Contoh Sunnah membatasi maksud ayat al-Qur’an yang datang dalam bentuk umum, umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam an-Nisa (4) :11:
يوصيكم الله في اولادكم للذكر مثل حظّ الأنثيين (النساء:11)
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu : bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan”.
Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya, sebagaimana tersebut dalam hadits dari Amru Ibn Syu’eb menurut riwayat an-Nasa’I dan al-Daruquthni :
ليس للقاتل من الميراث شيء.
Tiada harta warisan untuk si pembunuh”.
Contoh sunnah memperluas apa yang di maksud oleh al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam an-Nisa (4) :23:
وان تجمعوا بين الاختين…( النساء :23).
“…dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau…”.
Ayat itu diperluas oleh Nabi maksudnya, dengan Hadits Abu Hurairah dengan riwayat muttafaq ‘alaih, yang bunyinya:
لا يجمع بين المرأة وعمّتها ولا بين المرأة وخالتها.
Tidak boleh memadu perempuan dengan saudara ayahnya dan tidak boleh pula antara perempuan dengan saudara ibunya”.
Menetapkan sesuatu hukum dalam Sunnah yang secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Sunnah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an. Fungsi Sunnah dalam bentuk ini disebut “itsbat” (إثبات ) atau “insya” (إنشاء ).
Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan Sunnah itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah dan daging babi dalam al-Maidah (5): 3:
حرّمت عليكم الميتة والدّم ولحم الخنزير (المائدة: 3).
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi”.
Kemudian Nabi menyebutkan haramnya binatang buas dan burung buas dalam hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
كلّ ذي ناب من السباع فأكله حرام.
Setiap binatang buas yang bertaring, haram dimakan”.
Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Allah memakan sesuatu yang kotor sebagaimana tersebut dalam al-A’raf (7) : 33:
قل إنّما حرّم ربّي الفواحش ما ظهر منها وما بطن….(الاعراف:33).
Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi”.
  1. Sunnah sebagai Musyar’i
Sunnah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari’at dari yng tidak ada dalam Al Qur’an, misalnya diwajibkannya zakat fitrah, disunahkannya aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini par ulam berbeda pendapat :
    1. sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al Qur’an.
    2. sunnah tidak memuat hal-hal baru yang tidal dalam Al Qur’an, tetapi hanya memuat hal-hl yang ada landasannya dalam Al Qur’an.
P E N U T U P

Kesimpulan
Telah dipaparkan dalam pembahasan terdahulu bahwa “Sunnah” berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdahulu dalam al-Qur’an. Kedudukan Sunnah adalah sebagai sumber dan dalil hukum kedua setelah al-Qur’an.
Kata “Sunnah” dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti:
1. Kata “Sunnah” disebutkan seiring dengan kata Kitab yang artinya cara-cara.
2. Sunnah dalam ulama ushul: apa-apa yang diriwayatkan oleh Nabi SAW baik dalam ucapan, perbuatan, dan ketetapan.
3. Sunnah sebagai salah satu sumber hukum atau dalil.
4. Kata sunnah sering diidentikkan dengan kata hadits yaitu ucapan-ucapan Nabi.
Kata “Sunnah” yang telah diartikan seperti ini tidak jauh berbeda dengan fungsi sunnah yaitu:
- Sebagai penguat hukum dari hukum al-Qur’an.
- Sebagai penjelas.
- Sebagai ketetapan dalam Islam.


REFERENSI
Khalaf, Abdul Wahab.1978. Ilmu Ushul Al Fiqh. Kairo: Darul Qalam.
Syafe’i, Rachmat, Prof. Dr. 2007.Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Amiruddin, Zen, Drs. H. 2006. Ushul Fiqih. Surabaya: Elkaf.
Hanafie. A. 1980. Ushul Fiqh. Jakarta: Widjaya Jakarta.
S U N N A H
SEBAGAI SUMBER HUKUM KEDUA

MAKALAH UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH
USHUL FIQIH
Dosen Pengampu :
A. Halil Thahir,M.HI











Disusun oleh : Maria Ulfa / 933300209
Jurusan / Prodi : USHULUDDIN / TAFSIR HADIST


STAIN KEDIRI
Jl. Sunan Ampel No. 07 Ngronggo Kediri 64237
2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar