MAKALAH
MUTLAQ DAN MUQAYYAD
Makalah ini Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas Mata Kuliah “ USHUL FIQH “
Dosen Pengampu:
AHMAD KHALIL THAHRIR, M.H
AHMAD QORIB YUNUS 903300209
PRODI TAFSIR HADITS
JURUSAN USHULUDDIN
STAIN KEDIRI
|
BAB I
- Pendahuluan
Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Tidak hanya itu, namun juga di harapkan bias menambah pengetahuan bagi penyusun khususnya dan bagi pebaca umumnya. Walau pun nanti isi atau pun kajannya hanya sedikit.
Dan penyusun ingin menjelaskan tentang masalah Mtlaq Muqayyad, baik dilihat dari segi pengertianya, ketentuan – ketentuan Mutlaq dan Muqayyad dan juga hubungan antara Mutlaq dan Muqayyad
- Rumusan Masalah
- Apa pengertiannya Mutlaq dan Muqayyad ?
- Bagai mana ketentuan Mutlaq dan Muqayad ?
- Apa hubungannya antara Mutlaq dan Muqayyad ?
- Pengunaan lafadz Mutlaq dan Muqayad?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mutlaq
Dalam memberikan definisi kepada Mutlaq terdapat rumusan yang berbeda, namun saling berdekatan.:
- Muhamad al- Khodhuri Beik memberikan definisi :
المطلق مادل على فرد او افراد شائعة بدون قيد مستقل لفظا
Artinya : Mutlaq ialah lafadz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafdzi.
- Al- Amidi memberi definisi :
هو اللفظ الدال على مدلول شائع فى جنسه
Artinya : Lafadz yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk ) yang mencakup dalam jenisnya.
- Ibn Subki merumuskan definisi:
المطلق الدال على الماهية بلا قيد
Artinya: Mutlaq adalah lafadz yang memberi petunjuk kepada hakekat Sesutu tanpa ada ikatan apa – apa
- Abu Zahrah mengajukan definisi :
اللفظ المطلق هو الذى يدل على موضوعه من غير نظر الى الواحدة او الجمع او الوصف بل يدل على الماهية من حيث هي
Artinya : Lafadz mutlaq adalah lapadz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya (sasaran penggunaan lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau nsipatnya, tetepi memberi petunjuk kepada hakekat sesuatu menurut apa adanya.
- Khairul Uman memberikan definisi:
Mutlaq adalah lafadz yang menunjukan arti satu atau arti sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain
Dengan membandingakan definisi – definisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Disinilah di antara letak perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘am, meskipun terdapat istilah “meliputi afrodnya “.
Dari nsegi cakupannya, juga dapat dikatakan bahwa mutlaq itu sama dengan nakiroh yang disertai oleh tanda – tanda keumuman suatu lafadz, termasuk jama’nkiroh yang belum diberi qayid (ikatan).
Seperi contoh : “Aiidikum” dalam ayat :
öNn=sù (#r߉ÅgrB [ä!$tB (#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ‰÷ƒr&ur
Artinya : Apbila kamu tidak menemui air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, maka usaplah mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. Anisa . 43)
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidaklah di batasi dengan sifat syarat dan sebagainya yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkatan “aiidiikum “(tanganmu) ini tidak dibatasi sampai di mana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana sajaasalkan bagian tangan, karena itu disebut mtlaq.
B. Pengertin Muqayyad
Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan arti sebenarnya, dengan dibatasi oleh suatu hal dari batasan – batasan tertentu. Batasan – batasan yang tertentu itu disebut dengan al- qaid.
Seperti contoh:
وايديكم الى المرافق
Artinya : basulah tanganmu sampai siku – siku.
Contoh ini menjelaskan tentang wudhu, yaitu harus membasuh tangan sampai siku – siku. Di sini dijelaskan lafadz “aiidiikum” ini disebut muqayyad (dibatasi), sedang lapadz “ila al- marofiq” disebut al- qaid.
C. Ketentuan Mutlaq dan Muqayyad
Apabila lafadz itu mutlaq, maka mengandung ketentuan secara mutlaq (tidak dibatasi), dan apabila lafadz ityu muqayyad, maka mengandung arti ketentuan secara muqayyad (dibatasi)
Maksudnya lafadz yang mutlaq harus diartikan secara mutlaq dan lafadz yang muqayyad harus diartikan secara muqayyad pula dan tidak boleh dicampur adukan satu dengan yang lainnya. Maka sendirinya hukumnyapun harus berbeda.
D. Hubungan Antara Mutlaq dan Muqayyad
Apabila ada satu lafadz disatu tempat berbentuk mutlaq, sedangkan pada tempat yang lain berbentuk muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan dari ketentuannya.
1. Persaman sebab dan hukumnya
Apabila kedua lafadz itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni yang muqyyad. Artinya lafadz mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi, karena ia harus tunduk kepada muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafadz tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh lafadz:
فصيام ثلاثة أيام
Atinya: Berpuasa tiga hari, merupakan bentuk contoh mutlaq, menurut bacaan mutawatir. Tetapi menurut bacaan syadzah lafadz tersebut bentuknya muqayyad (bacan Ubbaid bin Ka’abdan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi :
فصيام ثلاثة أيام متتابعات
Artinya : berpusalah tiga hari berturut – turut .
Jadi lafadz di atas dibatasi dengan kata – kata berturut – turut (mutatabiat).
Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hokumnya, maka qirat mutawatir di atas diikutkan (disesuaikan) dengan qiraat syadzah. Jadi cara mengartikannya disamakan dengan qiraat syadzah. Hendaklah berpuasa tiga hari bertrut –turut. Jadi, karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat sumpah. Lebih jelasnya, walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan lafadz “mutatebiatin” tetapi cara mengartikannya haruslah berpuasa tiga hari berturut –turut dengan memakai qaid mutatabiat.
2. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila dua lafadz itu berbeda dalam sebab, tetapi sama dalam hokum, maka bagian ini diperselisikan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sadang Ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contohnya pada perkataan “Roqobatin” yang artinya Budak. Lafadz ini bentuknya mutlaq dalam ayat yang artinya : “dan orang – orang yang bersumpah zhihar kemudian menarik kembali apa yang dikatakannya, maka wajib memerdekakan budak, sebelum keduanya berkumpul” (QS Al- Mujahadah 39)
Padaayat lain berupa “rokobatin mukminatin” (budak yang muknin). Lafadz ini berbentuk muqayyad dalam ayat yang artinya “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan bersakah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin. “ QS An- Nisa 92).
Pasa ayat pertama seorang harus memerdekakan budak, karena bersupah zhihar, sedang pada ayat kedua karena membunuh tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam sebabnya.
Neskipun berlainan sebabnya, tetapi hukumnya sama yaitu sama – sama memerdekakan budak. Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap paa kemutlaqnnya, maka dalam supah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin. Sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja maka budak yang dimerdekakan harus mikmin.
3. Perbedaan hukum dan sebab
Apabila terjadi perbedaan hukum dan sebab, maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad. Misalnya dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hokum dan sebabnya, yang satu harus adil (muqayyad) dan yang lainnya, diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang satu soal pembunuhan, maka sudah jelas persoalannya. Oleh karena itu, tidak boleh diikutkan satu kepada yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil sebagai mana dalam hal saksi.
4. Perbedaan dalam hukummya saja
Apabila terjadi perbedaan dalam hukumnya saja maka tidak ada perselisihan antara ulama ushuk bahwa yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada yang muqayyad.
Contohnya lafadz :
اشتر رقبة واعتق رقبة مؤمنة
Artinya : belilah budak dan merdekakanlah budak mukmin.
Karena keduanya ini berbeda dalam hukumnya, yang yang satu harus membeli budak dan yang lainnya harus memerdekakan budak. Oleh karena itu, yang satu tidak boleh diikutkan pasa yang lain.
5. Adakalanya salah satu di antara keduanya ( mutlaq dan muqayyad), dalam bentuk itsbat (membenarkan) dan naïf (membantah). Contohnya, seorang berkata, “Merdekakanlah hamba sahaya. Lalu berkata lagi, “jangan memerdekakan hanba sahaya yang kafir.” Atau ia berkata ,“Memedai memerdekakan hamba sahaya muslim.” Dan berkata lagi, “Tidak memadai memerdekakan hamba sahaya”. Lafadz mutlaq dalam contoh tersebut diberi qayid dengan kebalikan atau lawan dari qayid pada lafadz yang miqayyad. Dalam contoh pertama kata “hamba sahaya” diberi qayid dengan “muslim” dan contoh kedua “hamba sahaya” diberi qayid dengan kata “muslim”
6. Bila dalam keduanya (mutlaq dan muqayyad) dalm benuk naïf atau dalam bentuk mrlarang , atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang satu lagi dalam bentuk melarang, maka lafadz mutlaq diberi qaid dengan sifat yang terdapat dalam lafadz muqayyad.
Contoh bentuk pertama : “Tidak cukup menyembeleh hewan” dan “tidak cukup menyembeleh hewan saki”
Contoh bentuk kedua : “Jangan menyembeleh hewan “ Jangan menyembeleh hewan sakit” “jangan menyembeleh hewan”.
Bentuk dan contoh yang disebutka sebelumnya adalah lafadz muqayyad berada dalam satu tempat, sehingga lafadz mutlaq hanya mungkin ditanggungkan kepada yang muqayyad itu saja.
7. Bentuk lain adalah lafadz muqayyad berada dalam dua tempat yang berbeda.
Mengenai hal ini ada dua pendapat yang berbeda:
a. Menurut ulama Syafi’iyah lafadz mutlaq harus ditanggungkan kepada salah satu di antara ksdua muqayyad di tempat yang berbeda itu.
Contoh :
فصيام ثلاثة أيام
Artinya : Maka harus berpuasa tiga hari ( QS Al- Maidah 89)
Kata “tiga hari” dalam ayat ini mutlaq tanpa keterangan, artinya tiga hari tersebut boleh berturut – turut dan boleh pula berpisah.
Contoh dalam kasus kafarah zhihar :
فصيام شهرين متتبعين
Artinya : Maka harus puasa selama dua bulan berturut – turut. (QS Al- Mujadalah 4)
Dalam ayat ini kewajiban berpuasa dinyatakan dalam bentuk muqayyad yaitu “berturut – turut”.
Contoh dalam bentuk dam haji (berpuasa secara berpisah)
فصيام ثلاثة أيام في الحج وسبعة اذارجعت
Artinya : Maka hendaklah puasa tiga hari waktu melakukan haji dan tujuh hari setelah kembali sari ibadah haji. (QS Al- baqarah 196)
Meskipun lafadz muqayyadnya ada dalam dua tempat yang berbeda namun bila di bandingkan, ternyata salah satu diantara keduanya lebih tepat dijadikan qayid bagi lafadz mutlaq karena adanya titik kesamaan. Dalam hal ini kewajiban puasa lebih tepat diberi qayid dengan kasus kafarah zhihar, yaitu berturut – turut, karena mutlaq dan muqayyad sama – sama dalam kasus kafarah.
b. Ulama Hanafiyah berbeda pendapat bahwa lafadz mutlaq tidak dapat ditanggungkan kepada lafadz muqayyad dalam keadaan tersebut karena lafadz muqayyadnya berbeda hukumnya. Oleh karea itu lafadz mutlaq berlaku secara kemutlaqannya sedang lafadz miqayyad berlaku menurut qayidnya. Masing – masing berdiri sendiri.
Bila muqayyad berbeda dalam dua tempat yang berbeda dan tidak ada yang lebih dekat diantara keduanya untuk memberi qayid kepada lafadz mutlaq, maka lafadz mutlaq tidak dapat ditangguhkan kepada muqayyad, karena meskipun ada lafadz muqayyadnya, tetapi berada dalam bentuk yang berbeda. Dengan demikian lafadz muqayyad b3erlaku dengan qayidnya dan lafadz mutlaq berlaku secara kemutlaqannya.
D. Penggunaan lafadz mutlaq dan muqayyad
1. Jika terdapat dua lafadz yang sesuai sebab dan hukumny, maka gabungkanlah mutlaq kepada muqayyad. Jikalu terdapat sutu tuntutan yang mutlaq dalam suatu lafadz dan muqayyad pada lafadz yang lain .
Seperti hadis tentang kafarah puasa.
صم شهرين متتبعين متفق عليه
Artinya : Puasalah kamu dua bulan berturut – turut.
Digabungkan dengan hadis : صم شهرين
Artinya : berpuasalah dua bulan .
Keterangan : bahwa hadis pertama dintentukan waktunya (muqayyad) sedangkan hadis kedua tidak ada ketentuannya (mutlaq), maka kedua hais tersebut di kompromikan, karena bersesuaian menurut sebab dan hukumnya.
Karena ada keterangan :
المطلق يحمل على المقيد اذا ااتفقا فى السبب والحكم
Artinya : mutlaq digabungkan kepada muqayyad bila bersesuaian menurut sebab dan hukumnya .
2. Jika tidak bersesuaian menurut sebab, maka mutlaq tidak digabungkan pada muqayyad
المطلق لايحمل على المقيد اذالم يتفق في السبب
Artinya : mutlaq tidak digabungkan dengan muqayyad apabila tidak bersesuaian pada sebab.
Seperti contoh antara lafadz zhihar dengan kafarat membunuh. Firman Allah yang artinya : “mereka yang menzhihar istrinya, kemudian mereka hendak menarik (kembali) apa yang mereka ucapkan, maka wajib atasnya memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Dengan firman Allah yang artinya: “barang siapa yang membunuh orang mukmin bersalah, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin.
Kalau ayat ini berisikan hukum yang sama (sama – sama membebaskan budak), sedangkan sebabnya berlainan, yang pertsama karena zhihar dan yang kedua karena membunuh dengan tak sengaja, maka mutlaq tidak dapat digabungkan kepada muqayyad.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Lafadz mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh aprod di dalamnya. Di sinilah diantara letak perbedaan lafadz mutlaq dengan lafadz ‘aam, meskipun terdapat istilah “meliputi afrodnya”
Lafadz muqayyad adalahlafadz yang menunjukan arti sebenarnya dengan dibatasi oleh suatu sifat dari batasan – batasan tertentu.
Sedangkan hubungan antara mtlaq dan muqayyad diantaranya :
· Persamaan sebab dan hukum
· Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
· Perbedaan hukum dan sebab
· Perbedaan hukumnya saja
Dan dalam masalah ini masih banyak para ulama ushul fiqih berbeda pendapat .
DAFTAR PUSTAKA
Uman, khaerul dan Ahmad achyar Aminudin, Ushul fiqih II Bandung : Pustaka Setia. 1989
Ble, Mahmud Al- Khudhori, Terjemahan ushul Fiqih, Pekalongan: Raja Murah. 1982
Syarifudin, Amir ,Haji Ushul Fiqih II cet 1,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar